MINANGKABAUNEWS.COM, PADANG — KPAI menyesalkan terjadinya kekerasan seksual oleh seorang guru SMP terhadap tujuh siswanya di Kabupaten Purbalingga
Jasra Putra mengatakan 7 Anak Korban Kejahatan Seksual di Purbalingga diperlukan Perspektif Penanganan yang Holistik
Lanjutnya, Jauh sebelum hukuman mati diperlakukan Undang Undang untuk anak korban kejahatan seksual. Kenyataannya, putusan hukuman mati sudah lampau ditetapkan para korban.
“Baru saja dunia menggemakan Hari Perempuan Internasional 8 Maret, namun aksi kejahatan seksual kepada perempuan laksana pantang surut. Kali ini pelaku kejahatan seksual itu berjubah guru (32th), yang menghabisi 7 muridnya umur 14 tahun di kelas. Dengan TKP Purbalingga,” tuturtnya.
Menurut Jasra, Untuk memuluskan aksinya, pelaku AS (32 tahun) menggunakan relasi kuasanya atas nama guru sejak 2013 sampai 2021. Alih alih mendidik muridnya, pelaku mengancam dengan nilai dan perilaku buruk anak anak muridnya. Dengan memanfaatkan ketidakpahaman (kognitif), ketidakberdayaan, fisik dan kejiwaan para korbannya. Entah ungkapan apa yang pantas di lontarkan kepada pelaku atas aksi bejatnya. Di masa pandemi Covid 19 pun, pelaku masih bisa menjalankan aksi bejatnya, sungguh biadab.
“Peristiwa kelam yang dialami anak anak sejak 2013 sampai 2021 baru terungkap sekarang 2022. Di tengah mulai dibukanya kembali lembaga pendidikan pasca PJJ. Kita sedang membayangkan beban yang harus di pikul anak anak itu selama 10 tahun di tambah masa pandem,” tandas Jasra
Karena kebanyakan peristiwa kejahatan seksual, dialami korban sendirian, ya saksinya itu ‘korban sendiri’ tidak ada orang lain. Karena yang ada hanyalah pelaku dan korban. Untuk melapor saja tidak berani, apalagi bersaksi. Karena bagi para korban, guru adalah figur tanpa salah dan bersaksi adalah mengungkap kembali trauma yang menguncang kejiwaannya. Dan itu harus di pendam anak anak selama 10 tahun, sampai akhirnya berani melapor. Pelaku telah lama membunuh karakter para korban, dengan memanfaatkan statusnya sebagai orang yang paling terdidik,” katanya
Artinya begitu merusaknya perbuatan kejahatan seksual, merusak jiwa para korban. Apalagi kalau pelakunya figur figur yang dianggap sakral dan harus di hormati di mata anak, apapun yang dibuat ‘dianggap benar oleh anak’, bila pelakunya orang tuanya sendiri, orang terdekat, orang yang disayangi, para orang yang berprofesi guru, orang yang berprofesi agama, tokoh publik atau tokoh masyarakat. Yang menyebabkan para korban tidak berani melapor. Belum lagi, bila korban berhadapan dengan hukum, mereka disana tidak hanya korban, tetapi menjadi saksi atas peristiwa ‘yang mereka lihat sendiri’. Begitu getirnya kisah yang harus di ungkap korban.
“Memang sangat disayangkan, lembaga pendidikan sebagai impian menuju cita cita, tempat orang terdidik, tempat anak anak terlindungi, justru menjadi rusak di mata para siswa. Yang berakibat lembaga pendidikan bukan tempat yang aman untuk anak anak. Tetapi ketika anak mencari di luar lembaga pendidikan, juga justru menjadi ancaman baru. Dengan berbagai peristiwa yang dialami anak anak lembaga pendidikan di jalanan,” tandasnya.
Masih sangat jarang lembaga pendidikan, yang berani melakukan publikasi secara terbuka, rujukan bila terjadi kekerasan. Seperti memasang pengumuman Hotline dan ‘apa yang dilakukan’ bila mendapatkan kekerasan dari rumah, di dalam lembaga pendidikan atau lingkungan. Lembaga pendidikan juga belum memiliki ruang yang dianggap standard aman bagi korban ketika mau melapor, bahwa korban benar benar merasa aman dan secure bila masuk ruang tersebut. Cara pandang terhadap orientasi seksual yang menyebabkan menurunkan martabat korban, penguasaan korban juga harus menjadi perspektif lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan juga penting memberi pemahaman guru, para murid, para orang tua dan yang bekerja di area lembaga pendidikan dan lingkungan terdekat. Bahwa memegang area terlarang anak seperti bibir, dada, pantat dan kemaluan para murid tidak diperkenankan. Karena berada di lembaga sakral pendidikan, murid seringkali, tidak bisa membedakan. Seperti ketika guru memegang muridnya, seperti rambut, pantat, yang dianggap biasa. Padahal perilaku tersebut, tidak di perkenankan, apalagi yang melakukannya para pelaku yang terpapar pornografi dan memiliki orientasi seksual yang menyimpang, tentu akan berdampak buruk untuk siswa siswinya. Seperti peristiwa 7 murid di Purbalingga.
“Begitupun perbuatan yang mengundang dengan tujuan merendahkan atau penguasaan yang bertujuan pada orientasi penguasaan seksual seseorang, seperti Cat Calling (siulan, panggilan seruan yang sifatnya detensi dan determinasi kepada orientasi seksual, dengan tujuan merendahkan atau penguasaan), Hate Speech (ujaran kebencian yang berdampak menghilangkan rasa kemanusiaan, sehingga berhak melakukan kejahatan, yang bisa saja berorientasi pada seksualitas yang merusak),” tuturnya.
Data KPAI periode Januari sampai Desember 2021 menyatakan ada 858 anak korban kejahatan seksual.
Dalam Undang Undang Perlindungan Anak segala perbuatan itu dinyatakan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain akan dipidana, dengan penerapan hukuman maksimal 15 tahun. Artinya lembaga pendidikan wajib mengenalkan pandangan hukum, resiko perbuatan yang berdampak hukum, agar mencegah berlanjutnya peningkatan modus kekerasan yang berorientasi penguasaan seksual melalui kekerasan dan kejahatan. Selain itu pentingnya memberi pemahaman kepada para siswa tentang pendidikan kesehatan reproduksi, orientasi seksual.
Dari peristiwa di Purbalingga kita diingatkan kembali, ditengah banyak penolakan hukum kematian atas aksi HW di Jawa Barat kepada para 9 anak. Namun ternyata hukuman mati sudah lama jauh diterapkan oleh para korban kejahatan seksual, seperti peristiwa korban NWR di Surabaya. Karena penanganan para korban, seringkali berkejaran dengan kondisi kejiwaan korban, yang jika telat di tangani, akan memendam lama, menjadi gangguan jiwa dari ringan sampai berat, yang tidak sedikit berakhir dengan kematian.
Sebenarnya hukuman mati telah di atur dalam Undang Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa UU 17/2016 khususnya di pasal 81 ayat 5 dinyatakan “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 2O (dua puluh) tahun”. Harusnya ini menjadi pasal dakwaan yang berjalan bersama pelaku dalam menjalani masa pidana dan masa hidupnya.
Namun, kita menyadari masih berada dalam kondisi penanganan antara pelaku dan korban, yang masih seperti bumi dan langit. Kenapa seperti itu? Para pelaku menjalani masa hukuman pidana panjang yang di jamin lembaga pemasyarakatan. Sedangkan penelitian KPAI lembaga rehab untuk para korban, tidak pernah tuntas, bahkan berbatas waktu, tidak sampai setahun. Beban penanganan juga masih sangat sektoral, padahal ketika dinyatakan menjadi korban, perlu intervensi segera dan lintas profesi, agar hak haknya tetap bisa di lakukan di tengah pendampingan. Sehingga korban tidak semakin terkucilkan dan terstigma. Kita diingatkan lagi pengarusutamaan para korban, saksi dan penanganannya. Untuk itulah RUU TPKS benar benar dibutuhkan, agar ada kebijakan dan anggaran yang cukup buat para korban.
Beban penanganan juga masih sektoral, tergantung peristiwanya. Padahal ada pengalaman, bahwa pelaku yang sudah di keluarkan dari lembaga pendidikan, masih bisa bekerja lagi di lembaga pendidikan yang lain, dan menimpa korban berikutnya. Artinya ternyata pelaku bisa berpindah ke lembaga pendidikan yang lain. Begitupun para korban yang memutuskan pindah lembaga pendidikan, setelah terstigma dan tidak tahan. Namun pengalamannya, korban bisa mengalami kejahatan seksual kembali. Bahkan ada laporan korban yang tidak tertangani baik, bisa menjadi pelaku, dengan kondisi beragam, akibat trauma berat di masa lalu yang tidak tertangani berkelanjutan.
Artinya rentetan peristiwa yang menghantui para korban, bisa berdampak fatal, baik menjadi korban kembali, mengalami gangguan perilaku dan kejiwaan. Ketika tidak segera di respon dan memiliki program menyeluruh dalam penanganan. Di sinilah menandakan perlunya layanan satu atap yang terintegratif, yang dapat memayungi dalam penanganannya.
Anak perlu berpartisipasi dalam mengenal kesehatan reproduksi, cara melapor yang aman dan mengutamakan korban, merahasiakan identitas, tempat lapor dilembaga pendidikan yang aman, penciptaan referral dan mekanisme pelaporan yang menjadi informasi terbuka dengan menggunakan media kekinian. Tentu dengan penyajian pengisian sumber informasi yang dapat terukur dan bertanggung jawab. Sebagaimana anjuran Permendikbud 82 tahun 2015 tentang Penanggulangan Kekerasan di Lembaga pendidikan khususnya kejahatan seksual.
Namun dengan para korban memendam peristiwa kelam 10 tahun, artinya perlu ada yang di tingkatkan dari layanan keberpihakan untuk para korban kejahatan seksual di lembaga pendidikan. Bahwa bagi para korban, belum ada tempat yang benar benar aman untuk melapor, belum ada figur yang dipercaya anak untuk melapor, lembaga pendidikan dianggap belum punya tempat representatif atau tempat khusus atau tempat sementara untuk rehab untuk penanganan korban.
Belajar dari beberapa peristiwa kejahatan seksual di lembaga pendidikan, seringkali terungkapnya setelah sekian lama, hal ini di sebabkan orientasi bisnis pendidikan, kesakralan bisnis pendidikan, kesakralan profesi pendidikan, yang menjauhkan para korban dari perlindungan institusi pendidikan.
Tanpa sadar, lembaga pendidikan menjadi tempat yang tidak aman untuk melapor. Dan lembaga pendidikan tidak memberi tempat perlindungan dan rehab yang aman untuk para korban kejahatan seksual. Ini diamini Menteri Agama yang menyatakan fenomena gunung es peristiwa kejahatan seksual di lembaga pendidikan, yang banyak belum terungkap. Namun selama tidak di rubah cara merespon dan penanganan, maka pergerakan oknum pelaku akan terus terlindungi melalui jubah guru, ustadz, tenaga pendidik, pengajar, mengatasnamakan lembaga pendidikan dalam melakukan perbuatannya.
Untuk itu lembaga pendidikan harus mulai membuat mekanisme penanganan rehab yang tepat. Sebagai tempat yang terdekat dan di kenal anak. Seperti bagaimana sikap dan perlakuan untuk para korban, bagaimana korban merasa aman untuk melapor dan terlindungi identitasnya. Sehingga tidak ada lagi korban yang memedam lama hingga 10 tahun dan membiarkan melangengkan perkosaan di lembaga pendidikan selama 10 tahun. Dimana pelaku terus melancarkan ancamannya kepada anak anak, membunuh karakter anak anak, ‘pelaku masih bisa bertemu korban’, dapat memberi tugas tugas belajar, baik secara PJJ atau BDR. Bahkan meregenerasi dan menjustifikasi kejahatan seksual dengan berkedok guru dalam rentang 10 tahun.
Memang tidak mudah lembaga pendidikan menyatakan di dalam lembaganya ada pelaku kejahatan seksual, karena dampak berat pada bisnisnya. Karena akan terjadi delegitimasi, sehingga kehilangan murid. Bahkan untuk pelaku HW, menyebabkan pesantrennya di tutup dan ijin operasionalnya di cabut.
Untuk itu saya menyampaikan, mendaftarkan anak ke lembaga pendidikan, seminari atau pesantren tidak salah, yang salah adalah membiarkan pelaku kekerasan atau kejahatan seksual tetap mengajar, apalagi seperti AS yang 10 tahun tidak terlaporkan.
Kita juga jangan salah memahami, melihat berbagai gelar Kota Layak Anak, Kabupaten Layak Anak, Propinsi Layak Anak yang selalu diberikan Negara, sedangkan peristiwa kejahatan seksual terus berulang.
Untuk itu saya sebagai tim evaluator Kota Layak Anak (KLA), selalu mengapresiasi daerah yang berpihak pada Kluster V yaitu Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus, dimana anak korban kejahatan seksual berada di dalamnya. Karena bagi saya yang penting adalah kecepatan dan ketepatan penanganannya. Tentu saja bila semakin baik, predikat KLA bisa di promosikan untuk ditingkatkan. Meski ada banyak indicator penilaian juga, seperti bagaimana daerah mengembangkan aspek pencegahan dan referral sstem dalam menekan angka kejahatan seksual pada anak.
Tapi kenyataannya dalam penilaian KLA, masih banyak daerah yang belum mengimplementasikan kebijakan dan anggaran yang cukup dalam penanganan Kluster V. Karena ini kluster paling tertinggal, dibanding kluster kesehatan, pendidikan dan kluster lainnya. Sehingga ketika terjadi peristiwa Kluster V ‘seperti ditinggal sendirian’ dalam mencari program dan sumber pembiayaan program. Justru kita ingin dengan predikat KLA, memicu daerah melakukan pembenahan dalam segi kecepatan penanganan, ketepatan respon dan pemenuhan hak korban. Kita berharap dengan hadirnya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sub urusan Perlindungan Khusus Anak dan PP 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak dapat terus melakukan pemenuhan perlindungan khusus anak.
“Dari survey KPAI tentang tidak tuntasnya lembaga rehab negara, baik yang dimiliki pemerintah dan pemerintah daerah, mengingatkan kita semua, baik para pendamping, pengamat kebijakan publik, aktifis, legislator dan yang berwenang, bahwa penanganan para korban kekerasan atau kejahatan seksual masih sangat tertinggal. Kita harus meningkatkan perspektif dan cara bekerja dari hulu ke hilir tentang penyelenggaraan perlindungan anak pada anak anak korban kejahatan seksual. Dari hasil survey kita diajak, segera berbenah, secara bertahap, agar berdampak sistemik untuk semua anak Indonesia. Mari melalui korban kejahatan seksual yang menimpa 7 anak di Purbalingga, kita meningkatkan lagi kerja kerja aspek pencegahan dan melakukan pemenuhan hak hak anak korban kejahatan seksual,” tutupnya.