Oleh: Ki Jal Atri Tanjung (Wakil Ketua PWM Sumbar
Filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bagai permata berkilau dalam khazanah budaya Minangkabau. Ia adalah rumusan sempurna yang menyelaraskan kearifan lokal dengan ajaran agama, digadang-gadang sebagai pondasi kehidupan bermasyarakat di Sumatera Barat. Namun, di balik keindahan konseptualnya, tersembunyi pertanyaan kritis: apakah filosofi agung ini masih hidup dalam denyut nadi keseharian, atau sudah menjelma menjadi sekadar mitos—dipercaya, dibanggakan, tetapi makin kabur wujud nyatanya?
Kenyataan pahit yang harus diakui adalah adanya jurang lebar antara filosofi dan praktik. ABS-SBK seringkali terasa seperti sebuah konsep yang mengawang, idealis di tataran wacana tetapi mandul dalam implementasi. Ini bukan berarti ia tak relevan lagi. Justru, masalahnya terletak pada kegagalan kita untuk menghidupkannya dalam kebijakan dan tindakan nyata, sehingga menciptakan kekecewaan di tengah masyarakat Minang, baik yang di kampung halaman maupun di perantauan.
Akar masalah dari kesenjangan ini kompleks, tetapi dapat ditelusuri dari beberapa faktor kunci. Pertama, lemahnya kerangka kebijakan pendukung. Regulasi daerah yang secara spesifik mengatur pelaksanaan ABS-SBK seringkali minim atau, jika ada, implementasinya tersendat. Kedua, terdapat kegagalan koordinasi antara pemerintah daerah dan ninik mamak selaku pemangku adat, menyebabkan kebijakan tak menyentuh akar tradisi. Ketiga, sumber daya manusia yang benar-benar memahami dan mampu menjembatani konsep ABS-SBK dengan tantangan modern masih terbatas. Yang tak kalah penting, faktor pendanaan menjadi penghambat serius. Kurangnya alokasi anggaran khusus membuat program sosialisasi, pelatihan, dan pengawasan menjadi tak optimal, berujung pada aturan yang hanya indah di atas kertas.
Lalu, bagaimana menutup jurang ini? Solusi harus dimulai dari komitmen politik yang kuat. Pemerintah daerah perlu menjadikan ABS-SBK sebagai prioritas pembangunan budaya, bukan sekadar slogan. Ini dapat diwujudkan dengan meningkatkan alokasi anggaran secara signifikan untuk program-program konkret, seperti revitalisasi musyawarah adat yang mengintegrasikan nilai-nilai syarak, atau pendidikan karakter berbasis ABS-SBK di sekolah.
Pendanaan juga bisa dicari melalui skema kreatif, seperti kemitraan dengan filantropi, atau menggalang swadaya masyarakat yang justru akan memperkuat rasa kepemilikan. Namun, anggaran saja tidak cukup. Efisiensi penggunaan dana dan pengawasan yang ketat mutlak diperlukan. Sosialisasi harus masif dan berkelanjutan, memanfaatkan berbagai media untuk menjangkau semua lapisan usia, termasuk generasi muda dan perantau.
Pada akhirnya, ABS-SBK tidak boleh berhenti sebagai mitos yang hanya dibicarakan dalam pelaminan atau pidato adat. Ia harus dihidupkan kembali sebagai paradigma berpikir dan bertindak. Dengan komitmen nyata dari semua pihak—pemerintah, lembaga adat, cerdik pandai, dan seluruh masyarakat—filosofi indah ini bisa turun dari menara gadingnya dan menjadi jalan hidup yang nyata, membimbing Minangkabau menghadapi zaman tanpa kehilangan jati diri. Saatnya mengubah mitos menjadi aksi.




