MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE –Ada sesuatu yang absurd, sekaligus khas Indonesia, dalam perjalanan politik Ahmad Syahroni. Ia lahir dari Sungai Sirah, Padang Pariaman—tanah Minangkabau yang sarat falsafah. Namun lebih banyak masa dewasanya ia habiskan di rantau, di Jakarta, hingga logat Betawi lebih kental dari lidah kampungnya.
Di forum-forum publik, ia dikenal spontan, sering bercanda. Pernah sekali ia melontarkan kalimat yang segera jadi bahan olok-olok sekaligus renungan: “tolol sama dengan pintar.” Sebagian menertawakan, sebagian mengernyitkan dahi. Tapi kalimat itu justru melekat, menjadi penanda gaya bicaranya yang lugas, nyeleneh, sekaligus membingungkan.
Joget di Gedung Rakyat
Lalu datang momen joget “Maumere” di gedung DPR. Musik dangdut mengalun, dan Ahmad Sahroni larut ikut bergoyang. Ruang sidang yang biasanya dingin dan penuh jargon politik, mendadak berubah jadi arena hiburan. Publik tak melihat canda, melainkan kelalaian. Video itu viral, memicu gelombang kritik: bagaimana mungkin wakil rakyat yang digaji negara begitu santai, sementara rakyat sedang resah dengan harga-harga dan kerusuhan?
Luka Penjarahan
Debatnya dengan Salsa Erwina semakin mempertebal jarak dengan publik. Salsa adalah korban nyata dari kerusuhan: mobilnya hancur, kaca berserakan di jalan, dompet dan uang tunai hilang, bahkan jam tangan mewahnya raib digondol massa.
Bagi Salsa, itu bukan sekadar kehilangan barang. Itu adalah simbol betapa rapuhnya perlindungan hukum. Ia berdiri di depan publik dengan suara bergetar, membawa trauma dan amarah. Ahmad Sahroni mencoba menjawab dengan gaya santai khas Betawi, bercampur seloroh. Tapi kali ini, seloroh itu salah tempat. Publik menilai ia tidak peka.
Misteri Flashdisk
Ketika sorotan belum padam, tersiar kabar tentang hilangnya sebuah flashdisk. Konon, isinya bukan main: rekaman bukti penjarahan, percakapan rahasia, bahkan daftar nama-nama yang disebut-sebut ikut terlibat. Tak ada kepastian, hanya rumor yang berputar liar. Namun, nama Ahmad Sahroni kembali ikut terseret, meski tanpa bukti jelas.
Dinonaktifkan
Puncaknya, Partai NasDem mengumumkan keputusan tegas: Ahmad Syahroni dinonaktifkan sebagai anggota DPR. Bukan sekadar peringatan, partai juga meminta agar seluruh gaji dan tunjangannya dihentikan.
Bagi publik, keputusan itu lebih keras daripada sekadar teguran. “Kalau sudah gaji dihentikan, itu artinya habis riwayat politiknya,” kata seorang analis.
Di kampung halamannya, Sungai Sirah, kabar ini menimbulkan getir. Sebagian warga masih bangga pernah ada “orang kampung kita” di Senayan, tapi kenyataan membuat mereka hanya bisa menghela napas. Sementara di Jakarta, orang-orang Betawi menatap dengan getir: Syahroni, yang gayanya begitu dekat dengan mereka, kini harus menerima nasib pahit.
Sebuah Potret Zaman
Kisah Ahmad Sahroni adalah potret tentang bagaimana politik Indonesia berjalan di persimpangan: antara rapat serius dan joget viral, antara trauma rakyat dan candaan elite, antara fakta hukum dan misteri flashdisk.
Dan kini, setelah dinonaktifkan, ia berada di ruang abu-abu: bukan lagi wakil rakyat yang utuh, tapi juga belum sepenuhnya tamat. Apakah ia akan kembali? Ataukah namanya hanya akan dikenang sebagai bahan sindiran?
Satu kalimatnya tetap menggantung di udara, ironis sekaligus satir: “tolol sama dengan pintar.” Mungkin ia bercanda, mungkin ia serius. Tapi kalimat itu kini terdengar seperti cermin zaman: ketika batas antara kebodohan dan kecerdasan begitu tipis, hingga sulit dibedakan.






