MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA — Sembilan hari banjir dahsyat dahsyat yang ditetapkan sebagai bencana ekologis di Sumatera, duka masih menyelimuti ribuan korban. Laporan dari lapangan mengungkap kondisi memilukan: ratusan desa di Aceh Tengah masih terisolasi, akses bantuan terhambat, dan keluarga-keluarga terpaksa berjalan berhari-hari demi menyambung hidup di Sumatera Barat. Di tengah lumpur dan kehilangan, suara kelompok paling rentan—anak-anak—terancam tenggelam.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengangkat alarm atas situasi ini. Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, menegaskan bahwa anak-anak, apalagi yang menyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus, berada di ujung tanduk. Mereka bukan hanya kehilangan rumah dan harta benda yang tersapu banjir bandang, tetapi juga kehilangan orang tua, saudara, serta rasa aman. Trauma mendalam akibat peristiwa yang tidak terduga ini membutuhkan rehabilitasi jangka panjang.
“Dalam setiap bencana, anak-anak seringkali berada di ujung dari setiap solusi. Mereka paling rentan, namun kebutuhan spesifik mereka mudah terabaikan,” tegas Wakil Ketua KPAI Jasra.
Salah satu tantangan utama yang disorot KPAI adalah simpang siurnya data korban. Tanpa data terpilah yang akurat—yang memisahkan informasi berdasarkan usia, disabilitas, dan kebutuhan khusus—bantuan dan program pemulihan berisiko tidak tepat sasaran. KPAI mendorong agar data di tingkat desa segera dijadikan pedoman untuk memastikan tidak ada anak yang kehilangan haknya atas pendidikan, kesehatan, gizi, dan perlindungan.
“Jangan sampai karena tidak ada perspektif anak dalam pendataan, hak-hak mereka justru hilang. Dampaknya akan sangat panjang bagi masa depan generasi di daerah bencana ini,” imbuhnya.
Kekhawatiran juga ditujukan pada kondisi pengungsian. Menetap lebih dari seminggu di tenda darurat, anak-anak menghadapi ancaman berlapis: mulai dari wabah penyakit pernafasan dan demam, kerentanan terhadap kekerasan (termasuk kekerasan seksual), hingga risiko terpisah dari keluarga. Relawan yang tidak memiliki perspektif anak juga bisa secara tidak sengaja menimbulkan kekerasan baru.
Oleh karena itu, KPAI mendesak inisiatif lokal segera digerakkan untuk membentuk safe spaces bagi anak. Misalnya, dengan mendirikan shelter pendidikan sementara, ruang konsultasi ibu dan anak, serta poliklinik khusus. Langkah ini tidak hanya melindungi anak tetapi juga membantu petugas di posko agar fokus pada tanggap darurat tanpa mengabaikan kelompok rentan.
Di balik semua urgensi ini, KPAI mendesak pemerintah untuk segera menetapkan status Bencana Nasional. Langkah ini diharapkan dapat membuka keran koordinasi, sumber daya, dan perhatian yang lebih besar. Desakan ini diamini oleh keprihatinan para pemimpin daerah. Bupati Aceh Tengah, dengan nada haru, bahkan menyatakan kekhawatiran akan situasi empat hari ke depan jika status tersebut tidak segera dikeluarkan.
Dasar hukum untuk perlindungan khusus anak dalam situasi darurat sebenarnya telah jelas, tertuang dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 59 dan diperjelas dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2021. Regulasi ini mewajibkan negara untuk memberikan penanganan cepat, rehabilitasi fisik dan psikososial, serta bantuan sosial.
“Ini adalah momentum bagi semua pihak untuk menunjukkan kebesaran hati. Mari galang kepedulian dalam satu gerakan untuk anak. Lindungi masa depan mereka yang kini terancam jurang kemiskinan dan trauma multidimensi akibat bencana ekologis ini,” pungkas Jasra Putra.
Duka bencana ini adalah duka nasional. Dan masa depan anak-anak di Sumatera adalah tanggung jawab kita bersama.






