Api yang Tak Pernah Padam: Perlawanan Nilai di Ranah Minang

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE — Di sebuah surau tua di jantung Minangkabau, selepas subuh, suara seorang ulama dengan jubah dan sorbannya terdengar lirih namun tajam. Ia mengutip sebuah kalimat yang telah lama berputar di antara para murid dan pengagumnya:

“Salah satu karakteristik perjuangan melawan penjajah di Ranah Minang adalah gerakan memperjuangkan nilai. Karena itu, tokoh pergerakannya bukanlah sultan atau raja. Itulah sebabnya mengapa api perjuangan tidak pernah padam di Ranah Minang, karena kedaulatan bukanlah tujuan, melainkan wasilah.”

Itu adalah kalimat Buya Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, seorang ulama, pemikir, dan penjaga tradisi keilmuan Minangkabau. Sekilas ia terdengar sederhana. Namun bila kita resapi, kalimat itu adalah kunci untuk memahami mengapa Minangkabau berbeda dari kebanyakan daerah lain di Nusantara.

Perlawanan yang lahir dari surau, bukan istana
Sejarah di banyak negeri sering ditulis dari istana. Nama raja, pangeran, atau sultan menjadi garda depan catatan. Namun di Minangkabau, perlawanan kerap lahir dari surau, dari tikar pandan tempat para anak nagari mengaji, dari rumah gadang yang menjadi ruang musyawarah, dari nagari yang menyatukan suara rakyat kecil.
Tokoh-tokoh perjuangan Minangkabau jarang bermahkota. Mereka tidak bersemayam di singgasana. Justru, mereka adalah ulama, penghulu adat, guru, cendekia, bahkan pedagang. Sebut saja Tuanku Imam Bonjol dengan Perang Padri, Haji Miskin dan Haji Piobang yang berangkat dari Mekah membawa semangat purifikasi, atau tokoh-tokoh intelektual abad ke-20 seperti Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, hingga Mohammad Hatta.
Mereka semua berangkat dari nilai. Ada yang menentang kolonialisme dengan senjata, ada pula dengan gagasan, ada pula dengan pena. Namun benang merahnya sama: perlawanan itu lahir bukan karena ambisi politik pribadi, melainkan karena sebuah keyakinan: nilai-nilai harus dijaga, meski nyawa menjadi taruhannya.

Nilai sebagai api yang diwariskan
Ada sebuah pepatah Minangkabau yang berbunyi, “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Adat dan syariat menjadi fondasi bersama. Dari sanalah lahir keyakinan bahwa perjuangan melawan penjajahan bukan semata merebut wilayah, tapi menjaga marwah nilai.
Di Ranah Minang, kedaulatan dipandang bukan sebagai tujuan final. Ia hanyalah alat. Sebab yang ingin dijaga sesungguhnya adalah martabat manusia, kebebasan berpikir, hak untuk memeluk agama dengan benar, serta kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.
Maka tidak mengherankan bila perlawanan di Minangkabau tidak berhenti meski kekuatan militer seringkali patah. Api perjuangan tidak pernah padam karena yang dijaga bukan singgasana, melainkan nilai yang hidup dalam dada setiap anak nagari.

Dari surau ke republik
Bila kita tarik garis sejarah panjang, semangat ini menjelma ke dalam tubuh republik. Mohammad Hatta, yang akrab dipanggil Bung Hatta, adalah buah dari pendidikan Minang yang menekankan nilai. Ia bukan seorang bangsawan bermahkota, melainkan anak seorang karyawan rendahan di sebuah perusahaan dagang Belanda. Namun dari surau dan ruang belajar di Belanda, Hatta menyerap nilai yang kemudian menjelma dalam gagasan besar tentang kemerdekaan Indonesia.
Demikian pula Haji Agus Salim, yang terkenal dengan kecerdasan retorikanya. Perlawanan yang ia lakukan bukan dengan menghunus pedang, melainkan dengan mengasah kata-kata yang membuat penjajah gentar. Kata-kata itu lahir dari keyakinan nilai, bukan dari nafsu kuasa.

Sebuah pelajaran untuk hari ini
Kalimat Buya Gusrizal Gazahar sesungguhnya adalah sebuah peringatan. Bahwa jika perjuangan hanya disandarkan pada simbol kedaulatan politik, api itu akan padam ketika bendera sudah berkibar. Namun jika perjuangan disandarkan pada nilai, ia akan terus menyala, bahkan melampaui batas generasi.
Hari ini, ketika kita tidak lagi berhadapan dengan meriam kolonial atau tentara penjajah, pertanyaannya: nilai apa yang sedang kita perjuangkan? Apakah kita masih setia pada semangat keadilan, kejujuran, dan kesederhanaan yang diwariskan para pendahulu? Atau kita justru terjebak dalam ambisi kekuasaan yang pernah mereka tolak?

Api yang diwariskan
Minangkabau tidak pernah lepas dari dinamika zaman. Namun ada satu hal yang terus hidup: api nilai. Api itulah yang membuat seorang ulama kampung bisa menantang kekuatan kolonial yang jauh lebih besar. Api itu pula yang membuat seorang anak muda dari Bukittinggi bisa berbicara lantang di podium Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa.
Mungkin benar kata Buya: kedaulatan hanyalah wasilah. Sebab tanpa nilai, kedaulatan bisa berubah menjadi alat tirani baru. Namun dengan nilai, bahkan dalam keterjajahan, manusia bisa tetap merdeka.
Dan di Ranah Minang, api itu tidak pernah padam. Ia terus menyala, dari surau ke rumah gadang, dari nagari ke republik. Sebuah api yang menyala bukan untuk membakar, tapi untuk menerangi jalan hidup bangsa.

Related posts