Oleh: Advokat Ki Jal Atri Tanjung
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat
Ada sesuatu yang sangat keliru dengan cara kita memandang bencana di negeri ini. Setiap kali banjir bandang menyapu perkampungan, setiap kali longsor mengubur puluhan rumah, setiap kali air cokelat keruh merendam ribuan hektare sawah—kita selalu menyebutnya dengan kata yang sama: musibah. Takdir. Kehendak Tuhan. Bencana alam.
Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: benarkah ini takdir? Atau jangan-jangan, ini adalah kejahatan yang direncanakan, dilaksanakan, dan dibiarkan berlangsung bertahun-tahun—sementara pelakunya justru makin kaya raya?
Saya menulis ini bukan dari menara gading akademisi yang jauh dari realitas. Saya menulis ini dari Sumatera Barat, dari provinsi yang sedang menangis karena bencana demi bencana yang silih berganti. Dan saya menulis ini dengan keyakinan penuh: sebagian besar tragedi yang menimpa kita bukanlah kehendak Tuhan, tetapi hasil dari keserakahan manusia yang sistematis dan terorganisir.
Ketika Aktivis Berani Menyebut Namanya: “Korupsi Lingkungan”
Beberapa waktu lalu, aktivis lingkungan Ki Edi Susilo mengeluarkan pernyataan yang membuat banyak orang tersentak. Ia menyebut rangkaian bencana hidrometeorologi yang terus berulang di Indonesia sebagai bentuk “Korupsi Lingkungan yang mematikan.”
Bukan istilah sembarangan. Bukan retorika kosong. Tetapi diagnosis yang tepat sasaran.
“Ini bukan musibah, ini tragedi yang direkayasa,” tegasnya dengan nada yang tak bisa ditawar. “Setiap banjir besar dan longsor mematikan di wilayah-wilayah yang dieksploitasi adalah bukti bahwa keuntungan segelintir pihak telah dibayar dengan nyawa manusia dan kerusakan alam tak terhingga.”
Saya setuju sepenuhnya dengan Ki Edi. Bahkan saya akan menambahkan: kita sudah terlalu lama bersikap naif, terlalu lama berpura-pura tidak tahu, terlalu lama membiarkan para perusak lingkungan berkeliaran bebas dengan dalih “pembangunan ekonomi” dan “kesempatan kerja.”
Mari kita lihat faktanya dengan mata telanjang. Hampir setiap bencana besar yang terjadi dalam satu dekade terakhir berlangsung di kawasan yang sebelumnya mengalami eksploitasi masif. Hutan lindung yang digunduli untuk perkebunan kelapa sawit. Kawasan resapan air yang disulap jadi kompleks perumahan mewah. Gunung yang dikorek habis untuk tambang emas dan batubara. Sungai yang tercemar merkuri dari tambang ilegal.
Dan ketika hujan turun—hujan yang seharusnya menjadi berkah—air tak punya tempat untuk meresap. Tanah yang sudah gembur karena akar pohon dicabut langsung longsor. Sungai yang sudah dangkal karena sedimentasi langsung meluap. Maka datanglah banjir bandang, datanglah longsor, datanglah kematian.
Pertanyaannya sederhana: apakah ini takdir, atau ini adalah konsekuensi logis dari kejahatan yang kita biarkan?
Serakahnomics: Ekonomi yang Dibangun di Atas Mayat dan Puing-Puing
Ki Edi Susilo menciptakan istilah yang brilian untuk menggambarkan sistem ekonomi yang berlangsung saat ini: “Serakahnomics”—ekonomi berbasis keserakahan yang justru menghancurkan ruang hidup masyarakat.
Ini bukan teori konspirasi. Ini adalah realitas yang bisa kita lihat setiap hari.
Lihatlah bagaimana proses perizinan tambang dan perkebunan di negeri ini. Di atas kertas, semuanya terlihat legal dan sah. Ada dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), ada izin dari pemerintah daerah, ada stempel dari berbagai instansi. Tetapi siapa yang tidak tahu bahwa banyak dari perizinan itu lahir dari meja-meja korup? Dokumen yang dibuat asal-asalan, pengawasan yang sengaja dilemahkan, pelanggaran yang dibiarkan karena ada “uang pelicin” yang mengalir.
Pola pembangunan yang melibatkan praktik korupsi tata ruang, perizinan bermasalah, dan lemahnya pengawasan telah melahirkan situasi absurd: mereka yang merusak lingkungan justru dilindungi oleh hukum, sementara rakyat yang menjadi korban harus menanggung sendiri penderitaannya.
Di Sumatera Barat, kita tahu persis akar masalahnya: illegal logging yang merajalela dan tambang ilegal yang beroperasi tanpa henti. Hutan-hutan di kawasan lindung dibabat habis. Kayu-kayu berharga diangkut tengah malam dengan truk-truk besar yang dikawal preman. Pejabat kehutanan yang seharusnya menjaga justru menutup mata—atau lebih buruk lagi, ikut menikmati hasilnya.
Tambang emas ilegal beroperasi di sana-sini. Merkuri yang sangat beracun dibuang begitu saja ke sungai. Ikan-ikan mati. Air yang tadinya jernih berubah keruh. Masyarakat lokal yang mengeluh justru diintimidasi. Dan ketika bencana datang, yang mati bukanlah para bos tambang yang tinggal di kota besar, tetapi petani dan nelayan kecil yang tak pernah menikmati sepeser pun dari hasil eksploitasi itu.
Inilah wajah asli Serakahnomics: keuntungan diprivatisasi, kerugian disosialisasikan. Yang untung segelintir orang, yang rugi seluruh rakyat.
Kodrat Alam yang Dilanggar, Harmonisasi yang Hilang
Sebagai orang yang beriman, saya percaya bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam semesta dengan desain yang sempurna. Manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang—semuanya diciptakan dengan kodrat masing-masing, dengan kekuatan untuk hidup dan berkembang sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta.
Tetapi ada satu hal yang sering kita lupakan: walaupun masing-masing makhluk diberikan potensi untuk hidup dan berkembang, tidak ada makhluk yang bisa hidup sendiri.
Manusia membutuhkan oksigen dari pohon. Pohon membutuhkan karbon dioksida dari manusia. Tanah membutuhkan cacing dan mikroorganisme. Sungai membutuhkan hutan di hulunya untuk menahan air hujan. Laut membutuhkan mangrove di pesisirnya untuk menjadi tempat ikan berkembang biak.
Ini bukan filsafat kosong. Ini adalah kodrat alam yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Dan kodrat ini mengandung pesan yang sangat jelas: saling ketergantungan antara makhluk hidup adalah keniscayaan, dan harmonisasi hubungan antar makhluk adalah kewajiban.
Manusia memang diciptakan lebih sempurna daripada tumbuhan dan binatang. Kita diberi akal untuk berpikir, kita diberi kehendak bebas untuk memilih. Tetapi kesempurnaan ini seharusnya membuat kita lebih bijaksana, bukan lebih arogan. Seharusnya membuat kita menjadi pengayom dan penjaga alam, bukan menjadi perusak yang paling brutal.
Namun apa yang terjadi? Kita justru menjadi makhluk yang paling rakus dan paling destruktif. Kita menebang hutan tanpa pikir panjang. Kita mencemari sungai tanpa rasa bersalah. Kita memburu satwa liar hingga hampir punah. Kita mengubah fungsi lahan sesuka hati tanpa mempedulikan keseimbangan ekosistem.
Dan ketika bencana datang—ketika alam “melawan balik”—kita dengan mudahnya menyalahkan Tuhan. Kita bilang ini ujian. Kita bilang ini takdir. Padahal, jika kita berani jujur, ini adalah konsekuensi langsung dari pelanggaran kita terhadap kodrat alam yang telah ditetapkan Sang Pencipta.
Kerusakan alam tumbuhan dan binatang oleh perbuatan manusia akan berdampak membahayakan keselamatan kehidupan manusia itu sendiri. Ini bukan ancaman, ini adalah hukum sebab-akibat yang pasti. Banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, wabah penyakit—semua itu tidak terlepas dari faktor perbuatan manusia yang merusak hubungannya dengan makhluk hidup lainnya.
Sepuluh Dosa Besar Manusia Terhadap Alam
Mari kita jujur dan konkret. Apa saja bentuk perbuatan manusia yang telah membuat kerusakan terhadap alam lingkungan hidup kita saat ini?
Pertama, polusi udara dan air. Emisi gas buang dari jutaan kendaraan, asap pabrik yang mengepul tanpa filter, pembakaran sampah yang dilakukan sembarangan—semuanya menyebabkan polusi udara yang membuat kita sulit bernapas. Air sungai yang tadinya jernih kini berubah hitam pekat karena limbah industri yang dibuang tanpa pengolahan.
Kedua, deforestasi dan perusakan hutan. Ini adalah dosa terbesar kita. Hutan-hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia justru ditebang habis untuk kepentingan perkebunan sawit, pertambangan, dan urbanisasi. Akibatnya? Satwa liar kehilangan habitat, risiko banjir meningkat drastis, dan keseimbangan iklim terganggu.
Ketiga, penggunaan plastik sekali pakai. Kita sudah terlalu nyaman dengan gaya hidup instan. Beli makanan pakai plastik, minum pakai botol plastik, belanja pakai kantong plastik—dan semuanya dibuang begitu saja. Padahal plastik tidak bisa diuraikan oleh alam. Akibatnya, laut kita dipenuhi sampah plastik yang membunuh ikan dan penyu.
Keempat, penggunaan pestisida dan herbisida yang berlebihan. Para petani dipaksa menggunakan bahan kimia berbahaya demi meningkatkan hasil panen. Akibatnya, tanah menjadi rusak, air tercemar, dan bahkan udara ikut terkontaminasi. Jangka panjangnya, tanah menjadi tidak subur dan kita kehilangan kedaulatan pangan.
Kelima, pembuangan sampah yang tidak tepat. Berapa banyak dari kita yang masih membuang sampah sembarangan? Di sungai, di laut, di pinggir jalan. Sampah yang menumpuk ini tidak hanya merusak pemandangan, tetapi juga menyumbat saluran air dan menyebabkan banjir.
Keenam, perburuan liar dan perdagangan satwa liar. Harimau sumatera, gajah, orangutan—populasi mereka terus menurun karena perburuan liar dan perdagangan ilegal. Kita kehilangan keanekaragaman hayati yang tidak akan pernah bisa dikembalikan.
Ketujuh, perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia telah menyebabkan suhu bumi meningkat. Akibatnya, kutub mencair, permukaan laut naik, cuaca menjadi ekstrem, dan risiko bencana alam meningkat berkali-kali lipat.
Kedelapan, penggunaan energi fosil yang berlebihan. Kita masih sangat bergantung pada batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Padahal pembakaran bahan bakar fosil ini adalah penyumbang terbesar polusi udara dan perubahan iklim.
Kesembilan, pertambangan yang tidak ramah lingkungan. Gunung-gunung diledakkan, tanah dikupas sampai dalam, air tanah tercemar—semua demi mendapatkan emas, batubara, atau nikel. Dan setelah tambang ditinggalkan, yang tersisa hanyalah lubang raksasa dan kerusakan permanen.
Kesepuluh, urbanisasi yang tidak terencana. Kota-kota terus berkembang tanpa perencanaan yang matang. Kawasan resapan air diubah jadi perumahan. Bantaran sungai dijadikan permukiman kumuh. Akibatnya, setiap kali hujan deras, kota langsung kebanjiran.
Dengan memahami sepuluh faktor ini, kita seharusnya bisa mulai mengambil tindakan untuk mengurangi dampak negatif kita terhadap lingkungan hidup. Pertanyaannya: apakah kita mau?
Kondisi Kita Hari Ini: Jauh dari Harmonis
Mari kita hadapi kenyataan pahit: kondisi hubungan antara manusia dengan makhluk hidup lainnya saat ini masih sangat jauh dari harmonis. Sangat jauh.
Banyak spesies yang terancam punah karena aktivitas manusia. Perburuan liar masih merajalela. Deforestasi terus berlanjut. Polusi semakin parah. Hal ini menunjukkan bahwa manusia belum sepenuhnya memahami pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem—atau lebih buruk lagi, memahami tetapi tidak peduli.
Memang, ada juga contoh-contoh positif yang patut kita apresiasi. Ada program konservasi satwa liar dan habitatnya yang mulai menunjukkan hasil. Ada pengelolaan hutan yang mulai berkelanjutan. Ada pengembangan pertanian organik yang ramah lingkungan. Ada peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Tetapi apakah itu cukup? Tentu saja tidak. Ketika kecepatan kerusakan jauh lebih cepat daripada kecepatan perbaikan, kita sedang berada dalam jalur menuju kehancuran.
Untuk mencapai harmonisasi hubungan yang sesungguhnya, kita perlu melakukan perubahan mendasar dan radikal. Bukan sekadar program-program parsial yang dilakukan setengah hati.
Kita perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem—bukan hanya di kalangan aktivis lingkungan, tetapi di seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengambil keputusan dan pelaku bisnis.
Kita perlu mengubah perilaku dan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan—dari hal-hal kecil seperti mengurangi penggunaan plastik, hingga hal-hal besar seperti memilih energi terbarukan.
Kita perlu mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan—bukan teknologi yang justru mengeksploitasi alam lebih dalam, tetapi teknologi yang membantu kita hidup selaras dengan alam.
Dan yang paling penting, kita perlu meningkatkan kerja sama internasional untuk menjaga lingkungan hidup—karena kerusakan lingkungan adalah masalah global yang tidak mengenal batas negara.
Dengan demikian, kita dapat menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan makhluk hidup lainnya dan menjaga keseimbangan ekosistem. Tetapi semua itu membutuhkan political will yang kuat dan komitmen yang tidak bisa ditawar.
Solusi Teknis Saja Tidak Cukup—Kita Butuh Keadilan
Setiap kali terjadi bencana, pemerintah sibuk dengan solusi teknis. Membangun bendungan. Menormalisasi sungai. Membuat tanggul setinggi langit. Merelokasi warga. Memberi bantuan sosial.
Semua itu penting, saya tidak menyangkal. Tetapi Ki Edi Susilo benar ketika ia mengatakan bahwa upaya-upaya tersebut hanya menyentuh gejala, bukan akar permasalahan.
Bendungan boleh dibangun setinggi apa pun, tetapi jika hutan di hulu tetap gundul, banjir akan tetap datang. Sungai boleh dinormalisasi secanggih apa pun, tetapi jika pembuangan sampah tidak dikontrol, sungai akan kembali dangkal. Tanggul boleh dibuat sekokoh apa pun, tetapi jika pembangunan di kawasan resapan air terus berlanjut, air akan tetap meluap.
“Selama pelaku perusakan lingkungan dan korupsi tata ruang tidak disentuh hukum secara tegas, bencana akan terus berulang,” tegas Ki Edi. “Keserakahan masih menjadi aktor utama di balik tragedi ini.”
Dan inilah yang paling menyakitkan: kita tahu siapa pelakunya. Kita tahu perusahaan mana yang menebang hutan secara ilegal. Kita tahu tambang mana yang beroperasi tanpa izin. Kita tahu pejabat mana yang menandatangani izin bermasalah dengan menerima suap. Kita tahu pengusaha mana yang mengubah fungsi lahan lindung menjadi perkebunan atau perumahan.
Kita tahu semuanya. Tetapi apa yang terjadi? Mereka masih berkeliaran bebas. Bahkan makin kaya raya. Perusahaan mereka makin besar. Aset mereka makin banyak. Sementara rakyat yang menjadi korban terus bertambah.
Ki Edi Susilo mendorong penegakan hukum yang lebih berani, termasuk penindakan terhadap pejabat atau korporasi yang terbukti merusak lingkungan atau melanggar aturan tata ruang. Dan saya sangat setuju dengan itu.
Kita butuh keberanian untuk:
Mencabut izin perusahaan yang terbukti melanggar aturan lingkungan, tanpa pandang bulu, tanpa melihat seberapa besar investasi mereka atau berapa banyak pekerja yang mereka pekerjakan. Karena nyawa manusia dan kelestarian alam jauh lebih berharga daripada keuntungan perusahaan.
Menjatuhkan hukuman penjara bagi pejabat korup yang menjual izin untuk merusak lingkungan. Bukan hanya denda yang bisa mereka bayar dengan mudah, tetapi hukuman penjara yang nyata dan berat. Karena mereka adalah penjahat yang telah membunuh rakyat secara tidak langsung.
Menghukum berat para cukong illegal logging dan tambang ilegal. Jangan hanya menangkap buruh kecil yang bekerja di lapangan, tetapi tangkap dan penjarakan para bos besar yang menikmati keuntungannya.
Melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh perizinan yang telah dikeluarkan, terutama yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam. Perizinan yang bermasalah harus dicabut, dan pejabat yang terlibat harus diproses hukum.
Memberikan sanksi sosial kepada perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Publikasikan nama-nama mereka. Ajak masyarakat untuk memboikot produk mereka. Buat mereka malu di hadapan publik.
Sejumlah lembaga lingkungan sebelumnya juga telah menyoroti meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, yang kerap berkaitan dengan deforestasi, ekspansi perkebunan, pertambangan, hingga pembangunan di area rawan bencana. Laporan demi laporan telah dibuat. Data demi data telah disampaikan. Tetapi respons pemerintah masih sangat lambat dan setengah hati.
Ki Edi menegaskan bahwa tanpa reformasi tata kelola lahan dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu, Indonesia akan terus berada dalam siklus bencana yang merugikan jutaan warga.
Dan saya menambahkan: tanpa keadilan bagi para korban dan tanpa hukuman bagi para pelaku, kita akan terus hidup dalam sistem Serakahnomics yang menghancurkan.
Bencana Ini Punya Pelaku—Dan Mereka Harus Dihukum
Izinkan saya mengakhiri tulisan panjang ini dengan mengulang kalimat Ki Edi Susilo yang paling menohok, kalimat yang seharusnya membuat kita semua terbangun dari tidur panjang kita:
“Bencana ini punya pelaku. Dan selama pelaku tidak ditindak, rakyat akan terus membayar mahal.”
Ya, bencana ini punya pelaku. Ini bukan takdir buta. Ini bukan kehendak Tuhan yang tidak bisa kita pahami. Ini adalah hasil dari tindakan konkret manusia-manusia serakah yang merusak alam demi keuntungan pribadi.
Pelakunya adalah pengusaha tambang ilegal yang mengkorek gunung tanpa izin. Pelakunya adalah cukong kayu yang menebang hutan lindung tengah malam. Pelakunya adalah developer yang mengubah kawasan resapan air menjadi perumahan mewah. Pelakunya adalah pejabat korup yang menandatangani izin bermasalah dengan menerima suap. Pelakunya adalah aparat yang menutup mata terhadap pelanggaran karena mendapat bagian.
Dan selama para pelaku ini tidak ditindak, selama mereka masih berkeliaran bebas, selama sistem Serakahnomics masih berjalan—rakyat akan terus mati sia-sia.
Anak-anak akan terus kehilangan orang tua karena longsor. Petani akan terus kehilangan sawah karena banjir. Nelayan akan terus kehilangan mata pencaharian karena sungai tercemar. Masyarakat adat akan terus kehilangan tanah leluhur karena dirampas korporasi.
Dan kita? Kita akan terus mengulangi ritual yang sama: berduka, berdoa, memberi bantuan—lalu melupakan. Sampai bencana berikutnya datang, dan siklus ini berulang lagi.
Sampai kapan kita akan terus jadi korban kejahatan yang kita biarkan terjadi? Sampai kapan kita akan terus tutup mata terhadap korupsi lingkungan yang membunuh ribuan nyawa? Sampai kapan kita akan terus menyebut ini sebagai “musibah” padahal kita tahu persis ini adalah pembunuhan berencana?
Saya menulis ini dengan harapan—harapan yang mungkin naif, tapi tetap harapan—bahwa peristiwa bencana yang terus berulang ini dapat meningkatkan kesadaran kita akan arti penting menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Bahwa tragedi demi tragedi ini dapat menyadarkan kita bahwa menjaga keseimbangan alam bukan pilihan, tetapi kewajiban mutlak yang diperintahkan oleh Sang Pencipta.
Bahwa kematian demi kematian ini dapat mendorong kita untuk berani menuntut keadilan, untuk berani menghukum para pelaku kejahatan lingkungan, untuk berani mengubah sistem Serakahnomics yang telah menghancurkan negeri ini.
Hukum harus datang bagi para perusak lingkungan. Keadilan harus ditegakkan bagi para korban. Dan sistem yang memungkinkan kejahatan ini berlangsung harus dibongkar dari akarnya.
Jika tidak, bersiaplah: bencana berikutnya sudah menunggu di depan mata. Dan lagi-lagi, yang akan membayar dengan nyawa mereka adalah rakyat jelata yang tak pernah ikut menikmati hasil eksploitasi alam yang telah menghancurkan hidup mereka.
Wallahu a’lam bishawab. Semoga Allah memberikan kita keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebijaksanaan untuk menjaga amanah-Nya berupa alam semesta ini. Amin.






