MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA — Sebuah temuan mengejutkan lahir dari suara anak-anak Indonesia. Melalui kajian bertajuk “Kajian Suara Anak: Mengedepankan Perspektif Anak dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG)”, terungkap bahwa partisipasi mereka dalam program pemerintah ini masih sangat minim, bahkan diwarnai oleh masalah keamanan pangan yang mengkhawatirkan.
Kajian yang diluncurkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan dukungan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Wahana Visi Indonesia (WVI) ini menegaskan, anak-anak seringkali hanya menjadi objek pasif, bukan mitra aktif yang dilibatkan secara bermakna.
“Selama ini, kita lebih sering mendengar perspektif orang dewasa. Melalui kajian ini, kami ingin mendengar langsung suara anak sebagai pemegang hak,” tegas Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah.
Partisipasi yang Terabaikan
Kajian yang menggunakan pendekatan unik, yaitu Child-Led Research (CLR) atau penelitian yang dipimpin oleh anak-anak sendiri, menyoroti sebuah celah besar. Olivia Herlinda dari CISDI mengungkapkan, “Tidak seperti praktik di negara lain, anak-anak di Indonesia belum dilibatkan dalam penentuan menu, edukasi gizi, hingga evaluasi program di sekolah mereka.”
Padahal, salah satu peneliti cilik dampingan WVI menyampaikan harapannya, “Tim program MBG perlu lebih sering mendengarkan pendapat siswa agar programnya sesuai dengan kebutuhan dan selera kami.”
Dampak Sosial Positif dan Temuan Mengerikan
Di balik niat baiknya, program MBG ternyata menyimpan dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi, mayoritas responden merasakan manfaat sosial-ekonomi, seperti kebiasaan makan bersama, penghematan uang jajan, dan bantuan bagi keluarga kurang mampu.
Namun, di balik manfaat itu, terselip temuan yang mencengangkan: 35,9% atau 583 anak mengaku pernah menerima makanan yang rusak, basi, atau bahkan mentah. Data ini beriringan dengan pemantauan CISDI yang mencatat 12.820 kasus keracunan makanan terkait MBG hingga akhir Oktober 2025.
“Dalam tingkat keparahan tertentu, infeksi bakteri berulang dapat memicu peradangan kronis hingga kerusakan sel darah merah,” jelas Olivia, menggambarkan betapa seriusnya dampak jangka panjang dari keracunan makanan ini.
Intimidasi terhadap Anak Pelapor
Yang tak kalah memprihatinkan, kajian ini juga menemukan kasus intimidasi terhadap anak-anak yang berani merekam dan melaporkan makanan tidak layak yang mereka terima. KPAI menegaskan bahwa ini adalah bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut.
“Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh dan memastikan mekanisme pengawasan yang berpihak pada keselamatan dan martabat anak. Tidak boleh ada pembiaran atas kelalaian yang berpotensi menimbulkan kekerasan baru,” pungkas Margaret.
Kajian ini diharapkan menjadi alarm bagi semua pemangku kepentingan untuk tidak hanya mendengar, tetapi benar-benar melibatkan suara anak dalam setiap tahapan program MBG, demi memastikan hak dan keselamatan mereka terpenuhi.






