MINANGKABAUNEWS.com, PADANG PANJANG – Jarang ada pesantren yang berani menggelar forum internasional membahas sastra dan pemikiran lintas negara. Pesantren KAUMAN Muhammadiyah Padang Panjang membuktikan sebaliknya.
Selasa kemarin, Aula AR St Mansur dipenuhi santri kelas XII, pejabat kota, hingga 15 delegasi Angkatan Belia Islam Malaysia. Mereka berkumpul membicarakan dua nama besar: sastrawan Malaysia Shahnon Ahmad dan ulama legendaris Indonesia, Buya Hamka.
Pukul delapan pagi, musik tradisi dan jurus Tapak Suci menyambut rombongan yang dipimpin Dato Paduka Hj. Ahmad Bin Kasim. Suasana kekeluargaan langsung terasa.
Ketua PDM Pabasko, Suharman, mengingatkan satu fakta penting: Hamka pernah menjadi kepala sekolah pertama di KAUMAN. “Kerjasama dua lembaga, dua negara, harus didukung,” katanya tegas.
Dian Eka Purnama, staf ahli walikota sekaligus tokoh adat, membuka seminar dengan pernyataan menohok. “Tulisan bukan rangkaian kata, tapi senjata intelektual,” ujarnya. Dia berharap KAUMAN tidak sekadar jadi lembaga pendidikan, melainkan pionir hubungan internasional.
Pesan terberatnya untuk santri kelas XII: “Padang Panjang sudah lama kehilangan sosok seperti Hamka. Kalian harus jadi Hamka-Hamka muda yang memperkenalkan kembali kota ini ke dunia.
Muhammad Ariff Bin Badrudin dari ABIM membedah karya Shahnon Ahmad yang membuatnya meraih gelar kehormatan kerajaan. Mudir KAUMAN, Dr. Derliana, mengupas rahasia produktivitas Hamka: 116 buku sepanjang hidup.
“Beliau punya pribadi kuat karena melewati masa kecil yang sulit. Sejak 1924 hingga 1950-an, Hamka tak pernah lepas dari Kulliyatul Muballighien,” jelas Derliana.
Ruangan hening sejenak ketika santri kelas XI membacakan puisi “Seabad Muhammadiyah”. Beberapa tamu terlihat menyeka mata.
Dato Paduka menutup sesi dengan ajakan memanfaatkan media sosial untuk menulis kebaikan. “Hamka dan Shahnon selalu mengkritik tanpa menyinggung. Kita harus meniru bahasa mereka,” katanya.
Seminar ditutup dengan tukar cenderamata dan foto bersama. Lebih dari sekadar forum akademis, acara ini membuktikan pesantren bisa jadi jembatan diplomasi budaya Indonesia-Malaysia.
Pertanyaannya tinggal satu: kapan pesantren lain berani melakukan hal serupa?






