MINANGKABAUNEWS.COM, MENTAWAI – Aksi penyampaian aspirasi terkait hak Tanah Ulayat yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Uma Taileleu dan Sakoikoi, dari Dusun Taraet Desa Betumonga, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai mendapatkan sambutan baik dari Pemerintah.
Aksi penyampaian aspirasi mereka terkait Hak Tanah Ulayat (Tanah Adat) langsung disampaikan dihadapan Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana, Wakil Bupati Mentawai Jakop Saguruk serta Ketua DPRD Mentawai Ibrani Sababalat di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Mentawai, Km 4 Tuapejat. Selasa (28/10/2025)
Saat orasi penyampaian aspirasi terkait hak tanah adat yang mana Kapolres Mentawai AKBP Rory Ratno turun langsung memastikan keamanan dan kekondusifan suasana, Bupati dan Ketua DPRD maju kedepan dan menengarai suasana hiruk pikuk masyarakat yang mendesak masuk halaman kantor hingga ruangan untuk berdialog.
Ketua DPRD Ibrani Sababalat mengatakan, untuk hal tuntutan masyarakat pemilik lahan akan kita sambut dengan baik dan terbuka untuk berdialog. Adanya negara karena rakyat, maka DPRD menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh masyarakat, ujarnya.
Dan selanjutnya akan ditindak lanjuti sebagai mana aturan yang berlaku. Sembari itu Ketua DPRD bersama Bupati langsung memberikan instruksi agar perwakilan masyarakat dapat berdiskusi didalam ruangan Wakil Ketua II DPRD.
Masyarakat sebagai hak ulayat, adalah hak penguasaan tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Hak ini bersifat komunal dan memberikan kewenangan kepada masyarakat adat untuk mengelola, memanfaatkan, dan melestarikan sumber daya alam di wilayahnya demi kelangsungan hidup mereka.
Pengakuan hak ulayat di Indonesia diatur dalam Pasal 3 UUD 1945 dan UUPA 1960, meskipun seringkali keberadaannya masih tumpang tindih dengan kepentingan Nasional dan memerlukan kepastian hukum lebih lanjut, misalnya melalui peraturan daerah.
Dimoment yang sama saat berdialog, Bupati Kepulauan Mentawai, Rinto Wardana menyampaikan bahwa pihaknya akan mendukung penuh tujuan dari pada aksi penyampaian aspirasi Aliansi Masyarakat Adat Desa Betumonga yang datang langsung menghadap dan mau berdiskusi dengan tertib.
“Ini sangat kami hargai, penyampaian aspirasi yang penuh dengan keterbukaan tanpa adanya suara lantang serta saling menghargai,” ujar Bupati.
Menanggapi permasalahan yang terjadi dimasyarakat, Bupati memberikan dampak yang positif dan menggembirakan. Pasalnya Bupati akan berusaha menyampaikan aspirasi masyarakat kepada tingkat yang lebih tinggi dihadapan DPR RI Komisi IV untuk dibahas lebih lanjut.
Namun Bupati meminta kekuatan dari masyarakat itu sendiri dengan membuat dan melakukan penandatanganan Surat Pernyataan Moral sehingga ada bahan serta lampiran Bupati untuk menyampaikan aspirasi masyarakat tersebut ke pihak yang berwenang dalam hal ini adalah Panglima TNI, Menteri Kehutanan (Kemenhut RI), Menteri BPN/ATR, dan Komisi IV DPR RI.
“Bapak bapak yang hadir menyampaikan aspirasi ini adalah perwakilan masyarakat seluruh wilayah Kabupaten, karena dibeberapa daerah masalah ini hampir sama. Dan akan kami perjuangkan mohon doa dan kekuatan agar ini jelas dan hak masyarakat terpenuhi. Karena kalau bukan kita siapa lagi yang akan mengarahkan dan yang memperjuangkannya”, ucap Bupati.
Bupati Mentawai juga dalam kesempatannya, turut menyayangkan permasalahan yang terjadi saat penindakan secara kilat oleh Satgas PKH. Pemerintah Daerah hampir tidak tau apa yang terjadi karena tidak adanya komunikasi dan koordinasi sebelumnya.
Mangasa Taileleu sebagai Koordinator Aksi mengatakan, bahwa salah satu tuntutan masyarakat agar lahan masyarakat yang di klaim sebagai Kawasan Hutan Produksi harus dibebaskan termasuk Hak Pengelolaan (HPL) yang di klaim oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Ia berharap melalui aspiras yang dilakukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai bisa tersampaikan dan diteruskan ke atas sehingga ada jawaban atas hak masyarakat Desa Betumonga terkait larangan mereka untuk melakukan aktivitas berkebun di wilayah yang diklaim sebagai Kawasan Hutan.
“Kami menuntut kepada Pemerintah supaya hak kami ya diberikan kepada masyarakat, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena di kawasan tersebut sudah ada tapak batas dan plang larangan untuk kami melakukan aktivitas”, ujarnya kepada wartawan.
Ia menyebutkan bahwa kawasan yang di klaim ini sebagian besar adalah perkebunan masyarakat dimana kawasan tersebut yang diklaim sekitar 738 hektar, sementara lahan yang ada sekitar 766 hektar, jika dikurangi 766 dari 738 maka sekitar 28 hektar tersisa yang bisa dikelola oleh masyarakat Desa Betumonga.
Dikatakan, sementara setelah tim pengukur turun lapangan dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta dari tim Satgas lainnya, temuan yang sebenarnya menjadi polemik dalam pengolahan kayu yang dilakukan salah satu perusahaan hanya seluas 7,8 hektar saja.
Namun informasi saat ini, 738 hektar semua diklaim dan diplang oleh Satgas PKH masuk kawasan hutan. nah ini yang tumpang-tindih informasinya, dan tentunya kami mau adanya kepastian dan kejelasan sehingga hak kami ya harus menjadi hak kami, tegas Mangasa.
Adapun delapan tuntutan masyarakat adat Taileleu yang disampaikan kepada Pemerintah sebagai berikut:
1. Mencabut Plang yang dipasang oleh Satgas PKH di lahan kami.
2. Menuntut Pemerintah Daerah dan DPRD Kepulauan Mentawai untuk,
a. Melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam
b. Menolak kriminalısası terhadap masyarakat adat dan mitra Kami
c. Menyelesaikan batas wilayah secara partimpatif.
3. Mendesak pembentukan Tim Klarifikasi dan Delimitasi Wilayah Adat dengan melibatkan tokoh adat, akademisi, BPN, dan instansi teknis.
4. Meminta Pemerintah Pusat meninjau kembali pelaksanaan Perpres No. 5 Tahun 2025 agar tidak menjadi dasar pemidanaan terhadap masyarakat adat.
5. Jika lahan kami telah diklarifikasi sebagai APL (Areal Penggunaan Lain) atau kami memiliki alas hak berupa PHAT (seperti yang diakui oleh Desa atau BPN setempat), maka aktivitas ekonomi yang kami lakukan di lahan tersebut adalah sah secara hukum perdata dan agraria. Kami menolak penerapan hukum kehutanan dalam bentuk pemidanaan.
6. Menuntut pemulihan hak ekonomi masyarakat adat atas penghentian kegiatan diwilayah APL.
7. Segera terbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan bekerja secara transparan untuk memverifikasi dan memetakan batas-batas Wilayah Adat kami.
8. Kami menuntut agar seluruh proses pemetaan batas Wilayah Adat dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang terukur, sehingga members kepastian hukum dan tata ruang bagi masyarakat Mentawai. (Tirman)






