MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, menegaskan bahwa distribusi zakat untuk pelunasan utang (gharimin) harus memenuhi kriteria ketat berbasis syariah dan tidak boleh dimanfaatkan oleh mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai profesi.
Berbicara dalam sebuah kajian di Padang, Buya Gusrizal merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW yang mengecualikan tiga kondisi sebagai pengecualian halal meminta: seseorang yang memikul tanggung jawab sosial (tahammala hamalah), seseorang yang hartanya musnah karena bencana (jaihatun), dan orang yang mengalami kemelaratan ekstrem (faqah). Ketiganya, jelasnya, hanya boleh menerima bantuan sampai sekadar menopang kelangsungan hidup—bukan untuk mengganti kekayaan yang hilang atau menjadikan meminta-minta sebagai profesi.
“Jika seseorang terkena bencana seperti kebakaran atau banjir, ia boleh meminta bantuan sampai kehidupannya kembali berjalan—bukan sampai rumah dua lantai yang rusak harus dibangun kembali dua lantai pula,” ujar Buya Gusrizal, mengkritik mentalitas kompensasi total.
Dalam konteks zakat untuk pelunasan utang, Buya menjelaskan bahwa seseorang hanya dapat dikategorikan sebagai gharimin apabila ia memenuhi dua syarat utama: pertama, tidak memiliki kemampuan membayar (tidak punya aset di luar kebutuhan pokok), dan kedua, berutang dalam rangka ketaatan, bukan maksiat atau transaksi ribawi.
“Banyak yang berutang ke rentenir, lalu berharap dilunasi zakat, padahal belum ada tanda-tanda tobat,” tegasnya. “Zakat tidak boleh memperkuat sistem ribawi atau perilaku konsumtif.”
Buya juga menekankan pentingnya verifikasi oleh pengelola zakat untuk memastikan komitmen taubat bagi mereka yang sebelumnya terlibat dalam utang berbasis riba. Ia mengutip surat Al-Mumtahanah untuk menegaskan prinsip “pengujian” sebagai bagian dari validasi komitmen iman atau tobat seseorang.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, Buya Gusrizal mengingatkan masyarakat agar tidak lalai dalam menerima pernyataan agama, termasuk dalam kasus pernikahan dengan mualaf. Ia menyoroti risiko konversi palsu demi pernikahan dan menyarankan agar proses keislaman dijalani terlebih dahulu dengan pengamatan komitmen yang konsisten.
“Islam tidak menyuruh kita menilai hati orang, tapi menyuruh kita membaca tanda-tanda kesungguhan. Itu sebabnya ada prinsip famtahinnuhunna—uji dulu,” katanya, mengutip ayat Al-Qur’an.
Pandangan Buya ini mencerminkan kehati-hatian MUI dalam menjaga integritas lembaga zakat sekaligus menguatkan prinsip-prinsip akuntabilitas sosial dan spiritual dalam distribusi dana keummatan.






