Buya Dr. Gusrizal: Negara Harus Hadir Menjaga Kesepakatan dan Keadilan Umat

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Suara Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa terdengar tenang, tapi mengandung dentuman makna. Dalam satu kesempatan di hadapan para jemaah, Ketua Umum MUI Sumatera Barat itu melontarkan unek-uneknya. Ada kekecewaan yang tak bisa disembunyikan, ada kegelisahan yang sudah terlalu lama dipendam.

“Umat Islam masih memandang kehadiran negara dalam kehidupan sosial sebagai sesuatu yang dharuri, yang sangat penting,” ujar Buya membuka pernyataannya, Kamis, (31/7). Karena itulah, menurutnya, umat Islam di Sumatera Barat hingga kini masih memegang teguh kesepakatan yang pernah diteken oleh dua kementerian—yakni SKB Dua Menteri, antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Tapi yang terjadi belakangan ini, terutama dalam insiden yang terjadi di Padang Sarai, Kota Padang, membuat nurani Buya terusik. Ia tak menyangka bahwa seruan Menteri Agama justru seperti menyasar sepihak kepada umat Islam yang ada di Ranah Minang.

“Seruan agar peristiwa itu tidak terulang, terasa mengusik jiwa kami para ulama di Sumatera Barat. Mengapa? Karena nada itu seolah menyalahkan umat di sini. Padahal, semestinya yang perlu dievaluasi terlebih dahulu adalah kinerja aparat dan pejabat di bawah komando Kementerian Agama itu sendiri.”

Buya menyebut informasi yang beredar di lapangan sangat berbeda dengan pernyataan resmi yang disampaikan di ruang-ruang kekuasaan. Tempat yang disebut-sebut sebagai “rumah doa” itu, menurut catatan dan surat resmi yang memakai kop kementerian, justru telah dilaporkan sebagai gereja—bahkan lebih dari setengah tahun lamanya.

“Apakah pantas kalau kami mengatakan bapak menteri telah berdusta? Atau petinggi agama yang berbicara di depan Wali Kota kami itu juga berdusta?” tanya Buya dengan nada retoris. “Jika tempat itu sudah dicatat sebagai gereja, mengapa dalam forum resmi dikatakan hanya rumah doa?”

Pernyataan Buya tidak datang dalam ruang kosong. Di balik kata-katanya, ada ketegangan yang telah lama bersemayam di masyarakat. Ketika warga mempertanyakan status rumah ibadah tersebut selama berbulan-bulan dan hanya disambut dengan diam, rasa keadilan mereka perlahan terkikis.

“Bukankah aturan harus ditegakkan? Kalau SKB Dua Menteri itu dianggap hanya kertas usang, lantas bagaimana nasib kerukunan kita ke depan?” katanya dengan nada prihatin. “Gesekan demi gesekan bisa saja bermunculan—la qadarallah, semoga Allah tidak takdirkan itu terjadi.”

Menurutnya, kehadiran jemaat dari luar daerah, dipimpin oleh petinggi agama yang juga berasal dari luar tanpa koordinasi dengan tokoh masyarakat setempat, merupakan pemicu yang tak boleh disepelekan. Dalam situasi semacam itu, sikap diam para pejabat justru menjadi bara yang memicu ledakan.

“Ini yang perlu diselidiki langsung oleh Menteri Agama. Jangan sampai negara abai terhadap dinamika di lapangan,” tegasnya.

Buya juga mengingatkan agar konsep toleransi tidak dijadikan alat tekanan sepihak. “Toleransi bukan alat untuk menyuruh umat Islam menepi dari haknya,” ujarnya. “Keadilan adalah dasar dari toleransi yang sejati. Dan keadilan itu hanya bisa dijamin jika aturan ditegakkan, bukan didramatisir.”

Bagi Buya Gusrizal, tugas negara adalah mengawal aturan hingga ke akar rumput, memastikan tidak ada yang dipinggirkan, tidak ada yang ditindas—baik mayoritas maupun minoritas.

“Jika toleransi memang ingin ditegakkan, kembalikanlah ia kepada alurnya yang alami—bukan pada skenario panggung yang penuh sandiwara,” pungkasnya.

Related posts