MINANGKABAUNEWS.com, PADANG– Ketua Umum MUI Sumbar, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc., M.Ag, menegaskan bahwa hukum menikah sesuku dalam Islam adalah halal, berdasarkan ketetapan Al-Qur’an. Adapun adat Minangkabau yang memantangkan praktik ini tidak boleh ditafsirkan sebagai pelarangan secara syar’i.
“Halal dan haram itu kewenangan Allah, bukan ulama, bukan lembaga adat,” ujar Buya Gusrizal dalam pengajian rutin di Masjid Buya Gusrizal, belum lama ini. Ia mengutip firman Allah dalam Q.S. An-Nisa: 24 — “Wa uhilla lakum ma warā’a dzālikum” — sebagai dasar bahwa segala yang tidak diharamkan secara eksplisit, hukumnya halal.
Buya Gusrizal mengkritik keras pihak-pihak yang menyatakan bahwa nikah sesuku adalah haram dalam adat Minang. “Itu kesalahan fatal. Orang Minang hanya memantangkan, bukan mengharamkan. Jangan geser syariat dengan adat,” katanya.
Ia menjelaskan, 14 kategori perempuan yang haram dinikahi telah disebutkan dalam Al-Qur’an, di luar itu termasuk nikah sesuku tidak termasuk dalam larangan. Oleh karena itu, ia mengingatkan agar jangan ada yang menambah-nambahi hukum haram di luar yang telah ditetapkan Allah.
Dua Alasan Adat Minang Memantangkan
Buya memaparkan bahwa larangan adat terhadap pernikahan sesuku dilandasi dua alasan historis:
1. Kemungkinan Syubhat Radha’ah (Persusuan): Pada masa lalu, banyak anak yang tinggal di rumah gadang yang sama dan disusui oleh perempuan-perempuan berbeda dalam satu lingkungan keluarga, sehingga dikhawatirkan terjadi ikatan persusuan.
2. Rapuhnya Ikatan Sosial: Pernikahan sesuku dikhawatirkan merusak struktur sosial dan hubungan kekeluargaan.
“Ketika satu rumah menikah dalam satu suku, kadang memicu retak hubungan antar keluarga, antara mamak dan kemenakan,” jelasnya.
Meski demikian, Buya menegaskan, adat tidak boleh melampaui batas syariat. “Kalau adat ingin tetap ABS-SBK (Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah), maka syara’ harus lebih dahulu ditanya sebelum adat menetapkan sesuatu,” ujarnya, menyindir pihak-pihak adat yang menganggap MUI tidak berhak berpendapat dalam urusan adat seperti tanah pusaka tinggi.
Menikah Sesuku Pernah Terjadi di Kalangan Raja
Buya juga mengingatkan bahwa praktik nikah sesuku bukan hal tabu di semua wilayah adat Minang. “Dalam sejarah keluarga kerajaan di Minangkabau, justru pernah terjadi pernikahan sesuku demi menjaga kemurnian garis keturunan,” katanya. Fenomena ini dikenal dengan istilah sumbang balai melintang.
Ia mengingatkan bahwa adat bersifat dinamis dan fleksibel. Dulu, nikah sesuku dalam satu suku lintas nagari pun dilarang, tapi kini tidak lagi berlaku universal. “Banyak negari yang sudah punya aturan fleksibel melalui sistem tebang, menumpu, atau mencakem,” ujarnya.
Dalam sesi yang sama, Buya juga meluruskan kesalahpahaman umum soal harta pusaka tinggi. “Jangan lagi ada yang bilang pusaka itu milik perempuan. Itu salah kaprah. Perempuan hanya dititipi, bukan pemilik,” tegasnya. Ia menyindir sebagian publik dan tokoh adat yang salah memahami kedudukan warisan dalam Islam dan adat.
“Pantangan adat itu boleh saja ada, sepanjang tidak diklaim sebagai hukum haram. Karena itu, mari kita jaga marwah ABS-SBK, jangan sampai hanya jadi slogan kosong,” pungkas Buya Dr. Gusrizal.






