MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI — Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc., M.Ag., dalam kajian keislaman di Surau Buya Gusrizal, Bukittinggi, menyoroti maraknya ritual tahun baru Hijriah yang dinilai tidak berdasar secara syar’i. Ia mengingatkan umat agar tidak terjebak dalam praktik-praktik keagamaan tanpa landasan dari Nabi Muhammad SAW maupun khulafaur rasyidin.
“Tidak pernah ada perayaan tahun baru Hijriah di masa Nabi. Bahkan penetapan kalender Hijriah sendiri baru dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, yakni tahun ke-17 Hijriah,” tegas Buya Gusrizal. Karena itu, menurutnya, segala bentuk ritual seperti doa akhir tahun, minum susu di awal tahun, hingga amalan-amalan khusus yang tidak berdasar pada petunjuk syariat, perlu dikritisi secara ilmiah dan tidak boleh dijadikan ajaran umum.
Buya juga menyoroti pentingnya memahami sejarah Islam (sirah nabawiyah) untuk membedakan antara syariat dan budaya populer yang berkembang di masyarakat. “Jika kita tidak memahami sejarah Islam dengan benar, kita akan mudah terbawa oleh informasi yang viral tapi tidak berdasar. Padahal, dalam Islam, dalil adalah rujukan utama, bukan cerita turun-temurun atau mimpi pribadi,” tegasnya.
Terkait ibadah di bulan Muharram, Buya Gusrizal juga menekankan keutamaan puasa Asyura (10 Muharram) yang memiliki dasar kuat dalam hadits shahih. Nabi Muhammad SAW bahkan berencana untuk menambahkan puasa pada hari ke-9 (Tasu’a) sebagai bentuk mukhalafah (pembedaan) dari praktik kaum Yahudi dan Nasrani yang juga memuliakan hari tersebut karena dikaitkan dengan keselamatan Nabi Musa dari kejaran Firaun.
“Nabi kita SAW mengajarkan identitas dan kepribadian yang kuat. Kita disuruh membedakan diri dari ahlul kitab dalam ibadah dan tradisi. Jangan jadi umat yang hanya meniru,” ujarnya. Buya mengutip hadits riwayat Imam Muslim dari Ibnu Abbas RA bahwa Nabi berkata: “Jika aku masih hidup tahun depan, aku akan berpuasa pada hari ke-9 Muharram.”
Di akhir ceramah, Buya Gusrizal kembali mengingatkan bahwa umat Islam harus mendasarkan ibadah dan amal pada ilmu yang shahih, bukan pada khayalan, mimpi pribadi, atau tradisi yang tidak memiliki sanad yang valid dari ajaran Islam.






