Buya Gusrizal Gazahar Bongkar Bahaya Lidah dan Tangan: “Papa Bro, Mama Bro” Tanda Anak Tak Terlatih Berkata Baik?

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI — Di hadapan jemaah yang memadati Masjid Surau Buya Gusrizal, Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, menyampaikan teguran halus namun mendalam. Suaranya tenang, namun pesannya menggetarkan kesadaran.

“Al-Muslimu man salimal muslimuna,” ujarnya, mengutip hadis Nabi. Seorang muslim, tegasnya, adalah orang yang menjamin keselamatan sesamanya dari lisan dan tangannya. “Orang yang selama ini berdekatan dengan kita, perbaiki dia. Tapi kalau tidak mau diperbaiki, tidak bisa dilatih berkata baik, maka itu bukanlah muslim yang hakiki.”

Buya Gusrizal lantas menyinggung fenomena yang membuatnya prihatin: cara remaja masa kini berbahasa. “Sekarang ini kita sedih. Remaja ini ucapan-ucapannya membingungkan dan menyakitkan,” ujarnya. Ia mencontohkan evolusi panggilan kepada orang tua, dari “abak, amak, ayah, bunda,” menjadi “bokap, nyokap,” hingga yang terbaru: “papa bro, mama bro.”

“Anak-anak kita sekarang tidak terlatih berkata baik,” ujarnya dengan nada khawatir. “Lama-lama jadi apa nanti?”

Dalam kajian fiqh yang mengalir bak sungai itu, Buya Gusrizal menegaskan komitmennya pada nilai-nilai lokal. “Saya tidak pernah antipati. Saya ingin tradisi dan budaya Minang ini tetap bertahan karena di dalamnya ada nilai-nilai kebaikan yang lebih unik.” Ia membandingkan adab sopan santun anak kepada orang tua di Indonesia dengan kebiasaan di tempat lain, yang justru kerap memanggil ayahnya dengan nama langsung.

Di penghujung ceramah, Buya Gusrizal mengungkapkan sebuah langkah strategis. MUI, bersama dinas kebudayaan Sumbar, sedang menyusun pedoman “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.” Tujuannya, menjawab tuduhan bahwa adat Minang bertentangan dengan syariat.

Dengan gamblang, ia menjelaskan bahwa sistem matrilineal Minang bukanlah “matriyakat” yang kerap disalahpahami. “Suku itu modern,” tegasnya. Ia menganalogikan suku dengan organisasi modern yang memiliki job description jelas, aset, markas, dan pimpinan. “Cuma, cik sekeleman suku tidak terdaftar di Kemenkumham,” selorohnya, disambut tawa jemaah.

Kajian itu pun berakhir, meninggalkan renungan: di tengah gempuran budaya global, melestarikan adab dan kearifan lokal adalah jalan untuk tetap menjadi muslim yang “salimal muslimuna”—yang menyelamatkan, bukan menyakiti.

Related posts