MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Ketua Umum MUI Provinsi Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, menegaskan bahwa dalam Islam, harta pusaka rendah tidak dapat begitu saja dijadikan sebagai harta pusaka tinggi. Dalam tausiyahnya, beliau menyoroti banyaknya pelanggaran dalam pengelolaan warisan di tengah masyarakat Minangkabau, terutama akibat ketidakpatuhan terhadap ketentuan syariat Islam dalam pembagian harta waris.
Dalam sebuah pengajian yang penuh penekanan pada ketertiban waris menurut syariat Islam, Buya Gusrizal menyampaikan keprihatinannya terhadap fenomena masyarakat yang mengabaikan batasan-batasan Allah (hududullah) dalam pembagian warisan.
“Masalah kewarisan itu adalah hududullah yang tidak boleh kita langgar. Tugas kita sebagai mukmin adalah attā‘ah was-sam‘u, yaitu tunduk dan patuh kepada ketetapan Allah,” ujar Buya Gusrizal.
Beliau mencontohkan banyaknya konflik dan kaburnya kepemilikan karena penundaan pembagian waris yang berlangsung hingga dua atau tiga generasi. Pengelolaan sepihak, meninggalnya ahli waris utama, hingga persepsi keliru tentang harta waris turut menyumbang kekacauan tersebut.
Salah satu kesalahan besar yang disoroti adalah ketika harta pusaka rendah—yakni harta milik pribadi yang diperoleh melalui jalur tamlik atau kepemilikan individu—diperlakukan seolah-olah sebagai harta pusaka tinggi yang diwarisi oleh kaum atau keluarga besar, dan tidak boleh dibagi, dijual, atau diwariskan kepada anak cucu.
“Harta pusaka rendah tidak bisa dijadikan pusaka tinggi kecuali melalui wakaf. Kalau tidak, dia tetap harta milik ahli waris, dan pembagiannya wajib mengikuti ketentuan Al-Qur’an,” tegas Buya Gusrizal.
Beliau juga menegaskan bahwa penetapan kembali harta pusaka rendah sebagai milik kaum hanya dapat dilakukan melalui mekanisme wakaf ahli atau wakaf zurri, yaitu dengan ikrar wakaf yang sah dan syar’i. Di sisi lain, harta pusaka tinggi pun bisa berubah menjadi harta milik pribadi (pusaka rendah) jika kaum sepakat dan tidak ada lagi keberlanjutan kaum dalam makna adat.
“Kita telah sepakat bahwa adat memakai syarak, syarak memakai kitabullah. Maka tak bisa adat dijadikan alasan untuk melanggar syariat,” lanjutnya.
Buya juga memberi penegasan terhadap praktik salah kaprah dalam mengatur warisan: ketika anak dari pewaris telah meninggal, maka hak warisnya turun kepada anak-anaknya (cucu dari pewaris), bukan kepada saudara pewaris atau anggota kaum.
“Ketika seseorang meninggal, dan warisannya sudah berpindah kepada anak-anak, maka saat anak itu meninggal, warisan bagian mereka akan berpindah kepada anak-anak mereka—bukan ke saudara atau kaum. Ini jelas dalam Al-Qur’an,” ujar beliau.
Dalam penutupnya, Buya Gusrizal mengingatkan masyarakat Minangkabau agar memahami dan membedakan antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. “Jangan mencampuradukkan dan melanggar hududullah hanya karena alasan adat. Jika tidak mau patuh, berarti durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Harta warisan harus diselesaikan sesuai ketentuan syariat,” pungkasnya.
Pernyataan tersebut penting sebagai bahan edukasi masyarakat, terutama di wilayah yang masih kental dengan tradisi adat seperti Minangkabau. Penting bagi para pemuka adat, keluarga besar, dan masyarakat luas untuk mengedepankan syariat dalam pengelolaan warisan guna menghindari konflik berkepanjangan dan dosa pelanggaran hukum Allah.