MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, kembali mengingatkan umat Islam untuk berhati-hati dalam mengikuti tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tanpa kesadaran yang mendalam dan pertimbangan yang matang, umat Islam berisiko kehilangan identitas keislamannya. Banyak dai atau penceramah terkadang memberi pembenaran terhadap praktik-praktik yang bertentangan dengan keyakinan Islam, bahkan menjadikannya seolah-olah tindakan yang wajar. Sayangnya, meskipun sudah sering diingatkan, perdebatan terkait isu-isu ini semakin meluas dari tahun ke tahun.
Salah satu isu yang terus menjadi bahan perdebatan adalah masalah mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani. Sebagai umat Islam, kita sudah bertahun-tahun mengingatkan bahwa tindakan ini bertentangan dengan ajaran Islam. Perayaan Natal merupakan bagian dari keyakinan agama mereka, yang jelas tidak sejalan dengan akidah Islam. Mengucapkan selamat Natal tidak termasuk dalam bentuk toleransi yang sebenarnya, karena dalam Islam toleransi berarti memberi kebebasan bagi umat lain untuk menjalankan ibadah mereka tanpa gangguan, bukan dengan ikut serta dalam merayakan perayaan agama mereka.
Menurut Buya, penting untuk dipahami bahwa mengucapkan selamat Natal atau merayakan perayaan agama lain tidak memiliki dasar dalam syariat Islam. Beberapa dai mungkin menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Nabi Isa (as) untuk mendukung pendapat ini, namun ini adalah pemahaman yang keliru. Dalam Islam, Nabi Isa lahir sebagai manusia biasa, bukan sebagai anak Tuhan. Oleh karena itu, menyamakan ucapan selamat Natal dengan perayaan kelahiran Nabi Isa adalah kesalahan dalam pemahaman.
Selain itu, masalah terkait salam dalam Islam juga patut dicermati. Kini, sering kali salam dianggap sebagai ucapan biasa, seperti “Selamat Pagi” atau “Selamat Malam.” Padahal, salam dalam Islam adalah ucapan yang mengandung doa keselamatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bukan sekadar sapaan biasa. Menganggap salam hanya sebagai ucapan sehari-hari menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap ajaran Islam yang sebenarnya.
Saat ini, kita juga melihat adanya kecenderungan mencampuradukkan ajaran agama, yang dapat mengarah pada pluralisme agama—pandangan yang menganggap semua agama itu sama. Padahal, sebagai umat Islam, kita telah membuat pilihan tegas dengan mengucapkan syahadat, yang mengakui hanya Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Keyakinan ini harus tetap dijaga dan tidak boleh terombang-ambing hanya karena alasan toleransi atau mencari popularitas.
Selain itu, perayaan Tahun Baru, terutama yang berlangsung pada malam pergantian 31 Desember ke 1 Januari, juga merupakan hal yang perlu dipertanyakan. Meskipun banyak orang merayakannya, Islam tidak menganggapnya sebagai malam yang istimewa. Tidak ada petunjuk dari Rasulullah tentang keutamaan malam Tahun Baru. Sebaliknya, perayaan ini sering kali diwarnai dengan perbuatan maksiat, seperti pesta pora, yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Sebagai umat Islam, kita perlu lebih berhati-hati dalam mengikuti tradisi yang tidak membawa manfaat spiritual. Menghabiskan uang untuk perayaan yang tidak memberikan nilai ibadah hanya akan menambah kemaksiatan di masyarakat, serta mengurangi keberkahan waktu dan rezeki kita.
Buya juga mengajak umat untuk menjaga keluarga, masyarakat, dan generasi penerus agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. “Kita harus tetap teguh dalam menjaga prinsip agama, serta mengamalkan nilai-nilai yang diwariskan oleh para ulama dan tokoh masyarakat terdahulu. Dengan kesabaran dan keteguhan hati, kita yakin umat Islam dapat menghadapi berbagai tantangan dan tetap istiqamah dalam menjalankan syariat Islam dengan baik,” tutup Buya.