Buya Gusrizal Gazahar: Ulama, Pujangga, dan Suara dari Minangkabau

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE — Di ujung Barat pulau Sumatera, di negeri yang tanahnya basah oleh adat dan langitnya tinggi oleh ilmu, lahir seorang ulama yang tak hanya berbicara lewat mimbar, tapi juga lewat satire. Namanya Gusrizal Gazahar. Di Sumatera Barat, ia lebih dikenal dengan sapaan hormat: Buya Gusrizal.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat ini bukan hanya seorang ahli syariah dan Fiqh, bukan hanya pewaris tradisi Minang yang menjunjung tinggi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah — tetapi juga seorang penyair yang, seperti pendahulunya Buya Hamka, memahat kritik dalam bait-bait. Ia bukan hanya mewakili Islam yang tegas dan argumentatif, tapi juga Islam yang mampu menyentuh hati lewat keindahan kata-kata.

Pada sebuah malam di Padang, di tengah riuh media sosial yang dipenuhi silang sengkarut politik identitas dan polemik pernyataan elite, satu kutipan menyeruak. Puitis, tajam, dan menggugah.

“Nenek moyang kami memang tidak pernah membuat tanah, Tapi nenek moyang tuan juga tak pernah memberikan kami tanah!
Kalau mau hidup bernegara, jangan merasa tuan sendiri menjadi pemiliknya!!!” – Gusrizal Gazahar

Kata-kata ini bukan sembarang provokasi. Bukan pula amarah kosong yang sekadar ingin didengar. Ia lahir dari rasa, dari memori kolektif sebuah bangsa yang masih bertanya-tanya tentang keadilan dalam bingkai kebangsaan. Dalam tiga kalimat pendek itu, Buya menyerang arogansi kekuasaan dan superioritas kultural dengan retorika klasik Minang: halus tapi menghunus.

Buya Gusrizal adalah produk dari dua dunia: dunia Timur Tengah yang keras dan rasional, dan dunia Minang yang lembut namun tajam. Ia menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Kairo — kampus tertua dan termasyhur dalam sejarah keilmuan Islam. Tapi setibanya kembali ke tanah air, ia tidak memilih jalan akademik murni seperti sebagian rekan seangkatannya. Ia justru pulang ke akar, membenamkan diri dalam tradisi lokal, dan menjahit kembali benang-benang yang sempat koyak antara adat, agama, dan negara.

Sejak menjabat sebagai Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal tak pernah berhenti bicara. Tapi suaranya tak selalu lantang — terkadang ia lebih memilih sunyi yang dalam, suara lirih yang hanya bisa dibaca lewat tulisan-tulisan panjangnya di media sosial, atau melalui bait-bait puitik yang ia posting dengan sedikit ironi dan banyak hikmah.

Dalam dunia yang semakin bising oleh para pendengung dan buzzer, Buya hadir seperti seorang penyair sufi di medan sosial-politik. Ia berbicara tentang pluralitas, tapi bukan pluralitas yang meniadakan batas. Ia bicara tentang persatuan, tapi bukan persatuan yang menghapus perbedaan hakiki.

Ada sebuah episode yang membuat banyak orang mengingatnya tak hanya sebagai ulama, tapi juga pejuang identitas. Ketika muncul wacana dari pejabat tinggi negara yang membuka ruang afirmasi untuk aliran-aliran yang telah dinyatakan menyimpang oleh MUI, Buya Gusrizal bersuara lantang. “Ulama tidak akan tinggal diam,” katanya. Dan benar, ia menuliskan sebuah tanggapan yang lebih mirip esai sastra ketimbang surat pernyataan — penuh lapisan makna, merujuk pada sejarah, dan mengakar pada dalil.

Tulisannya menjadi viral. Tapi lebih dari itu, menjadi napas bagi banyak kalangan yang merasa identitas keagamaannya sedang dikooptasi oleh narasi-narasi di pusat kekuasaan yang kerap lupa bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta.

Dalam satu kesempatan, ia pernah menyindir dengan gaya Hamka:
“Ada yang takut kehilangan kursi, Lalu sibuk mengukur iman orang lain.”
Gaya ini mengingatkan kita pada Buya Hamka — seorang ulama, cendekiawan, dan sastrawan besar yang juga dikenal karena mengkritik keras rezim Orde Lama. Hamka pernah menolak permintaan Bung Karno untuk menyusun khutbah Idul Fitri, karena merasa penguasa saat itu tidak menghargai agama. Kini, di era demokrasi digital, Buya Gusrizal menggunakan gawai dan media sosial sebagai podium puisi perlawanan.

Namun Buya bukan hanya pengkritik. Ia juga pendidik dan penjaga nalar publik. Melalui ceramah, diskusi, dan bahkan sesi-sesi informal di surau dan warung kopi, ia kerap mengajak masyarakat berpikir jernih. Ia bicara tentang pentingnya akhlak dalam politik, kesetaraan dalam hukum, dan kejujuran dalam bernegara. Ia mengajarkan bahwa kritik bukan berarti benci, dan mencintai negeri bukan berarti memuja penguasa.

Sebagai seorang putra Minangkabau, Buya Gusrizal membawa spirit “merantau” dalam makna intelektual — ia menjemput ilmu jauh ke negeri Arab, lalu pulang membawa cermin untuk masyarakatnya. Tapi yang ia bawa bukan hanya buku dan ijazah. Ia membawa keberanian untuk berkata, bahkan ketika kata itu membuat banyak orang tidak nyaman.

Kini, di usia yang semakin matang dan posisi yang semakin strategis, ia tidak berubah menjadi pendiam. Justru semakin puitis. Seperti dalam satu puisinya yang menyentil kebijakan pusat yang kadang tidak peka:
“Tanah ini bukan pemberian, Tapi kami yang menjaganya sejak hutan dan kabut masih bersatu. Jangan ajari kami tentang cinta tanah air, Karena kami menguburkannya bersama nenek moyang.”

Di sebuah negara yang sering memperdebatkan siapa paling berhak atas “tanah” dan “agama”, Buya Gusrizal memilih berdiri di tengah: membawa agama yang bijak dan tanah yang ia cintai. Ia adalah “pujangga politik” dalam arti terbaik: bukan partisan, bukan agitator, tetapi pengingat nurani.

Dan mungkin, di tengah negeri yang sering lupa cara membaca hati rakyatnya, suara-suara seperti Buya — yang bersenandung di antara adat, syariat, dan puisi — adalah yang paling dibutuhkan.

“Kebenaran tak selalu diteriakkan. Kadang ia dibisikkan lewat bait, dan mengetuk jiwa yang masih punya rasa.” — Gusrizal Gazahar.

Related posts