MINANGKABAUNEWS. , BUKITTINGGI – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, menegaskan syarat dan kriteria penerima zakat dalam kajian fiqh yang diselenggarakan di Masjid Surau Buya Gusrizal, Kota Bukittinggi, belum lama ini.
Buya Gusrizal menyoroti lima kelompok yang tidak berhak menerima zakat berdasarkan syariat Islam:
1. Al-Qawiyyul Muktasib (Orang Kuat yang Mampu Berusaha)
– Orang yang sehat dan mampu bekerja tidak berhak menerima zakat, kecuali jika usahanya tidak mencukupi kebutuhan dasar (masuk kategori miskin) atau benar-benar tidak bisa bekerja (termasuk fakir).
– Nabi SAW menegaskan, “Jika kalian meminta, aku akan beri, tapi zakat bukan hak kalian.”
2. Orang Kaya dan Keluarganya
– Zakat hanya untuk mustahik (penerima), bukan muzaki (pemberi) atau keluarganya. Anak, cucu, orang tua, dan istri tidak boleh menerima zakat dari anggota keluarga yang berzakat karena tanggung jawab nafkah sudah wajib ditanggung.
3. Non-Muslim yang Memusuhi Islam
– Menurut jumhur ulama, non-Muslim (kafir) tidak berhak menerima zakat, termasuk ahluz zimmah (warga non-Muslim dalam perlindungan negara Islam). Namun, sebagian ulama membolehkan dalam kondisi tertentu jika mereka tidak memusuhi Islam.
4. Keturunan Nabi (Banu Hasyim dan Banu Abdul Muthalib)
– Keluarga Nabi SAW dilarang menerima zakat. Kisah cucu Nabi, Hasan, yang diminta memuntahkan kurma zakat menjadi contoh tegas larangan ini.
5. Hamba Sahaya (Budak)
– Dalam konteks modern, kelompok ini tidak relevan, tetapi secara historis, budak yang dimerdekakan termasuk mustahik zakat.
Buya Gusrizal juga mengingatkan empat syarat harta yang wajib dizakati:
1. Milik Sempurna: Harta benar-benar dimiliki dan bebas dari hak orang lain.
2. Berkembang (An-Nama): Memiliki potensi produktif seperti emas, perdagangan, atau ternak.
3. Mencapai Nisab: Melebihi kebutuhan pokok dan mencapai batas minimal (nisab).
4. Haul (Mencapai Satu Tahun): Berlaku untuk zakat emas, perak, perdagangan, dan ternak. Sementara zakat pertanian, barang tambang, dan harta terpendam tidak memerlukan haul.
Buya Gusrizal menyayangkan praktik pengelolaan zakat yang tidak sesuai syariat, seperti penggunaan dana zakat untuk kepentingan di luar mustahik. Ia mencontohkan potensi besar zakat barang tambang di Libya yang dikelola untuk pemberdayaan fakir miskin melalui saham pusat perbelanjaan.
“Di Indonesia, potensi zakat belum dimaksimalkan. Justru sering disalahgunakan untuk kepentingan di luar tujuan syar’i,” tegasnya.
Kajian ini mengingatkan umat untuk memahami dengan benar hukum zakat agar ibadah tersebut tepat sasaran dan mendatangkan berkah. Buya Gusrizal berharap lembaga zakat dapat mengoptimalkan pendistribusian sesuai prinsip syariat.






