MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI — Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, menegaskan bahwa kekerasan hati (qaswatul qulub) hanya bisa dilembutkan dengan nasihat dan dakwah yang disertai kesiapan menerima hidayah. Hal ini disampaikan dalam kajian Fiqh Al-Qulub di Surau Buya Gusrizal, belum lama ini. Mengutip Surat An-Naml ayat 80 dan Ar-Rum ayat 52, Buya menjelaskan bahwa Allah mengumpamakan orang yang menutup hati dari kebenaran bagai “mayat hidup” — fisiknya ada, namun kalbunya mati. Kajian ini mengupas tuntas syarat efektivitas dakwah: kesadaran akan kebutuhan spiritual, mengabaikan kekurangan dai, dan fokus pada janji Allah, seraya menekankan pentingnya keteladanan dari para penyeru kebaikan.
1. Tafsir Ayat tentang “Mati”-nya Hati: Buya menafsirkan “al-mauta” dalam ayat sebagai kematian spiritual, di mana hati tertutup dari hidayah meski fisik hidup.
2. Tiga Syarat Penerima Nasihat:
– Siddatul Iftiqar (kebutuhan mendesak akan hidayah).
– Al-Ami (mengabaikan aib pemberi nasihat selama kontennya benar).
– Tadakkurul Wa’di wal Wa’id (mengingat janji pahala dan ancaman akhirat).
3. Tanggung Jawab Dai: Penekanan pada konsistensi antara ucapan dan tindakan, mengutip kisah Nabi Syuaib yang menolak hipokrisi.
4. Kritik terhadap Mentalitas Masyarakat: Buya mengingatkan agar tidak terjebak pada pencitraan dai, tetapi fokus pada substansi nasihat yang selaras dengan Al-Qur’an dan sunah.
Kajian ini ditutup dengan seruan untuk memanfaatkan majelis ilmu sebagai sarana refleksi diri, bukan sekadar ritual. Buya mengingatkan, “Hidup di dunia adalah ladang menanam amal, bukan akhir perjuangan.”






