MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL — Kabar gembira datang dari Jakarta. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat mengumumkan susunan kepengurusan periode 2025-2030, dan satu nama dari Ranah Minang mencuri perhatian: Buya Dr. Gusrizal Gazahar. Tokoh ulama yang selama ini dikenal dengan kesederhanaannya dalam memberikan pengajian di surau, kini dipercaya memimpin Bidang Fatwa Metodologi MUI Pusat—sebuah posisi strategis yang menentukan arah penetapan fatwa di seluruh Indonesia.
Bukan sekadar jabatan biasa. Posisi ini adalah jantung dari ijtihad dan penerapan fatwa yang akan menyentuh kehidupan ratusan juta umat Islam di Indonesia. Dan MUI pusat memilih putra terbaik Sumatra Barat untuk membawa perspektif baru dalam metodologi penetapan fatwa yang relevan dengan perkembangan zaman.
Ucapan Selamat Membanjiri dari Segala Penjuru
Begitu pengumuman resmi diluncurkan, ucapan selamat datang bertubi-tubi dari tokoh-tokoh besar Ranah Minang. Ketua Dewan Syariah Wilayah PKS Sumbar, Irsyad Syfar, menjadi salah satu yang pertama memberikan apresiasi. Disusul Kabiro Dinas PMD Sumbar, Yozawardi, yang menyatakan kebanggaan atas pencapaian ini.
Anggota DPR RI, Rahmat Saleh, turut menyampaikan selamat, begitu pula Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar. Deretan tokoh dan institusi lainnya dari berbagai kalangan—baik dari organisasi Islam, pemerintahan, hingga tokoh masyarakat—seakan berlomba memberikan penghormatan kepada Buya Gusrizal.
Mengapa? Karena amanah baru ini bukan sekadar pengakuan personal, melainkan pengakuan pusat terhadap kualitas dan kemampuan ulama Ranah Minang yang telah terbukti sepanjang sejarah.
Melanjutkan Jejak Emas Ulama Minangkabau
Jika kita membuka lembaran sejarah MUI, nama-nama besar dari Minangkabau selalu terukir dengan tinta emas. Siapa yang bisa melupakan Buya Hamka, Ketua Umum MUI pertama yang legendaris? Atau Buya Anwar Abbas yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum MUI? Belum lagi Buya Amirsyah Tambunan, Sekretaris Jenderal MUI yang juga sumando urang awak—menantu orang Minang.
Kini, tongkat estafet kepemimpinan ulama Minang di tingkat nasional dipegang oleh Buya Gusrizal Gazahar. Namanya menambah deretan panjang kontribusi putra-putri terbaik Minangkabau dalam membimbing umat di negeri ini.
“Ini bukan sekadar kebanggaan Sumbar, tetapi tanggung jawab besar untuk terus menjaga marwah ulama Minangkabau di kancah nasional,” ujar salah seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Bukan Ulama Menara Gading
Yang membuat Buya Gusrizal istimewa adalah sosoknya yang tidak hanya berkutat dengan kitab-kitab di ruang tertutup. Ia adalah ulama yang turun langsung ke tengah-tengah masyarakat, merasakan derita mereka, dan mengulurkan tangan ketika rakyat membutuhkan.
Ketika banjir bandang melanda Sumatra Barat beberapa waktu lalu, Buya Gusrizal tidak hanya berdoa dari jauh. Ia turun langsung ke Palembayan, Kabupaten Agam, mengantarkan bantuan kepada korban bencana. Di sana, ia juga menyempatkan diri mengunjungi rumah gadang A.R. Sutan Mansyur, menjaga silaturahmi dan menghormati warisan budaya Minangkabau.
Belum lama ini, Buya Gusrizal kembali turun ke lapangan. Kali ini ke Kelurahan Lambuang Bukik, menyalurkan bantuan kepada 50 kepala keluarga korban banjir bandang. Bukan sekadar memberikan bantuan material, ia juga memberikan motivasi spiritual.
“Bersabarlah dalam menghadapi musibah ini. Tingkatkan ibadah kepada Allah SWT. Ujian ini adalah cara Allah mendidik hamba-Nya yang dicintai-Nya,” ujar Buya Gusrizal kepada para korban banjir, membawa kesejukan di tengah kesedihan mereka.
Inilah ulama sejati: yang tidak hanya fasih berbicara tentang ayat dan hadis, tetapi juga hadir ketika umat membutuhkan.
Warisan Manis: Gedung Lima Lantai untuk Generasi Mendatang
Berbicara tentang kepemimpinan Buya Gusrizal di MUI Sumbar, ada satu pencapaian monumental yang tidak boleh dilupakan. Di akhir periode kepemimpinannya sebagai Ketua MUI Sumbar, ia meninggalkan warisan fisik yang megah: sebuah gedung lima lantai di kawasan Kompleks Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Gedung yang diberi nama “Pusat Khidmat Ummat” ini adalah bukti nyata visi jangka panjang Buya Gusrizal. Selama bertahun-tahun, MUI Sumbar berkantor di lantai dua Masjid Nurul Iman—kondisi yang jauh dari ideal untuk sebuah organisasi ulama sekaliber MUI.
“Sepuluh tahun kepemimpinan Buya Gusrizal tidak hanya meninggalkan program-program yang berkesan di hati umat, tetapi juga infrastruktur yang representatif untuk generasi mendatang,” kata salah seorang pengurus MUI Sumbar.
Gedung lima lantai itu bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah simbol komitmen, kerja keras, dan dedikasi seorang pemimpin yang berpikir jauh ke depan. Dengan gedung tersebut, MUI Sumbar kini memiliki markas yang layak untuk menjalankan misi dakwah dan pembimbingan umat.
Dari Sumbar ke Jakarta: Membawa Misi Besar
Kini, dengan amanah baru sebagai Ketua Bidang Fatwa Metodologi MUI Pusat periode 2025-2030, Buya Gusrizal membawa misi yang lebih besar. Ia tidak lagi hanya berbicara untuk umat di Sumatra Barat, tetapi untuk seluruh Indonesia.
Bidang Fatwa Metodologi adalah jantung dari proses penetapan fatwa di Indonesia. Di sinilah metodologi ijtihad dirumuskan, di sinilah pendekatan-pendekatan baru dalam memahami nash agama dikembangkan agar tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan ruh syariat.
Tantangannya tidak ringan. Di era digital ini, umat Islam menghadapi berbagai persoalan baru yang membutuhkan panduan syariat: mulai dari transaksi keuangan digital, etika media sosial, hingga isu-isu bioetika yang kompleks. Semua membutuhkan metodologi fatwa yang kokoh namun fleksibel, yang teguh pada prinsip namun terbuka pada konteks.
Dan MUI percaya bahwa Buya Gusrizal adalah sosok yang tepat untuk membawa perspektif baru dalam metodologi penetapan fatwa di Indonesia.
Kenangan Manis Menuju Babak Baru
Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Dalam periode itu, Buya Gusrizal telah membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara emosional dan dekat dengan umat.
Dari surau-surau tempat ia rutin memberikan pengajian, dari lokasi-lokasi bencana tempat ia mengantarkan bantuan, dari ruang-ruang rapat tempat ia merumuskan kebijakan—Buya Gusrizal meninggalkan jejak yang dalam di hati umat Sumatra Barat.
Dan kini, dengan gedung lima lantai sebagai kenangan fisik dan puluhan ribu umat yang tercerahkan sebagai kenangan spiritual, ia melangkah ke Jakarta untuk menunaikan amanah yang lebih besar.
“Ini adalah kebanggaan kami semua,” ujar salah seorang jamaah yang rutin mengikuti pengajian Buya Gusrizal. “Tapi kami juga tahu, ini adalah tanggung jawab yang sangat berat. Kami akan terus mendoakan beliau.”
Harapan untuk Masa Depan
Dengan pengalaman kepemimpinan yang matang, kedekatan dengan akar rumput, dan pemahaman mendalam tentang metodologi fatwa, Buya Gusrizal diharapkan bisa membawa angin segar dalam dunia fatwa Indonesia.
Umat berharap, di bawah kepemimpinannya, MUI akan semakin responsif terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan identitas keislaman. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan akan semakin kontekstual namun tetap berdasar pada dalil yang kuat. Dan yang terpenting, MUI akan semakin dekat dengan rakyat—seperti yang selalu dilakukan Buya Gusrizal selama ini.
Dari Sumatra Barat ke Jakarta, dari surau ke gedung MUI pusat, dari pengajian rutin ke forum ijtihad nasional—perjalanan Buya Gusrizal adalah cermin dari perjalanan ulama Minangkabau yang selalu memberikan yang terbaik untuk negeri ini.
Selamat bertugas, Buya. Ranah Minang bangga, Indonesia menanti kontribusi terbaik Anda.
Dan sejarah mencatat: ketika Indonesia membutuhkan pemikir fatwa yang visioner, sekali lagi mereka memanggil putra terbaik dari Ranah Minang.






