MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE — Pada suatu siang di Gedung MPR RI, 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto berdiri tegak di podium. Sorot matanya tajam, kalimatnya tegas:
“Kita harus berani mengakui terlalu banyak kebocoran dari anggaran kita, penyimpangan-penyimpangan, kolusi di antara para pejabat politik dan pengusaha-pengusaha yang nakal. Janganlah kita takut melihat realita ini.”
Pidato itu bukan sekadar seremoni pelantikan. Ada nada frustrasi sekaligus janji perubahan. Prabowo, mantan jenderal yang kini mengendalikan republik, seakan hendak memukul gong perang terhadap penyakit lama negeri ini: korupsi.
Tak lama berselang, publik dibuat geger oleh gagasan nyentriknya: membangun penjara khusus bagi koruptor di sebuah pulau terpencil. Bayangan tentang para “pencuri uang rakyat” diasingkan jauh dari peradaban, hidup dalam keterbatasan, menumbuhkan semacam harapan: mungkin inilah efek jera yang selama ini hilang.
Namun, sebagian pengamat buru-buru mengingatkan. “Penjara di pulau terpencil itu simbolik. Yang menentukan bukan tempatnya, tapi kepastian hukum, integritas proses, dan keadilan,” kata seorang pakar hukum pidana. Sebab faktanya, banyak koruptor justru menikmati vonis ringan, remisi berlebihan, hingga fasilitas mewah di balik jeruji.
Musuh Baru: Rangkap Jabatan
Korupsi, kata Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1988), adalah fungsi dari tiga hal: kekuasaan diskresioner, monopoli kewenangan, dan lemahnya akuntabilitas. Jika tiga unsur ini bertemu, korupsi tumbuh subur.
Indonesia, sayangnya, memberi panggung nyata bagi teori itu. Salah satunya lewat praktik rangkap jabatan.
Seorang menteri merangkap komisaris BUMN. Wakil menteri duduk nyaman di dewan direksi. Pejabat daerah rangkap jabatan di lembaga negara lain. Sementara rakyat di bawah berdesakan mencari pekerjaan pertama mereka, para elit justru menikmati gaji ganda, fasilitas berlapis, dan kuasa yang kian terkonsentrasi.
“Kalau dulu musuh bangsa adalah kolonialisme, kini musuhnya adalah keserakahan elit,” ujar seorang aktivis antikorupsi. “Rakyat menanggung rangkap penderitaan.”
Putusan MK dan Pintu Baru
Gelombang kritik itu akhirnya sampai ke Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor 128/PUU-XXIII/2025 menjadi penanda. Mahkamah menegaskan: Pasal 23 UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara berlaku bukan hanya untuk menteri, tapi juga wakil menteri. Mereka dilarang rangkap jabatan, baik sebagai pejabat negara lain, komisaris BUMN atau swasta, maupun pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/APBD.
Putusan itu ibarat palu guntur. KPK langsung menyambutnya dengan gagasan: dorongan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Larangan Rangkap Jabatan. Bagi lembaga antirasuah itu, perpres menjadi instrumen vital untuk menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan para pejabat.
Mahfud MD, dalam bukunya Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, pernah menyebut MK sebagai negative legislator: lembaga yang memang tak membuat undang-undang baru, tapi bisa mengoreksi undang-undang yang cacat konstitusi. Dengan putusan MK ini, jalan bagi lahirnya Perpres kian terang.
Ujian Besar Prabowo
Pertanyaan pun muncul: akankah Presiden Prabowo benar-benar menindaklanjuti momentum ini?
Secara yuridis, landasannya sudah kokoh. Secara sosiologis, rakyat menuntut keadilan. Secara filosofis, larangan rangkap jabatan akan mempertegas marwah jabatan publik sebagai amanah sakral, bukan privilege untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Di sinilah ujian besar Prabowo. Retorika perang melawan korupsi memang mengundang tepuk tangan. Namun, publik tak lagi puas dengan simbol. Mereka menanti kebijakan konkret yang menyentuh akar masalah.
Membangun penjara di pulau terpencil bisa jadi hanya gestur politik. Tetapi menandatangani Perpres Larangan Rangkap Jabatan akan jadi langkah nyata—membongkar konsentrasi kuasa, membuka ruang keadilan, dan memastikan jabatan publik kembali pada fitrahnya: amanah untuk Tuhan, negara, dan rakyat.
“Kalau Prabowo berani teken Perpres ini,” kata seorang pengamat politik, “itu akan jadi warisan besar. Lebih membekas daripada sekadar wacana penjara koruptor di pulau.”
Dari Rakyat untuk Negeri
Pada akhirnya, inti dari semua ini kembali ke rakyat. Di bawah bayang-bayang elit yang merangkap jabatan, jutaan anak muda masih berjuang menembus pengangguran. Mereka yang tiap hari mendengar jargon “keadilan sosial” berharap jabatan publik tidak lagi diperlakukan sebagai ladang pribadi.
Prabowo sudah mengumandangkan perang melawan kebocoran anggaran. Kini, publik menanti: apakah janji itu akan diterjemahkan menjadi regulasi yang berani, tegas, dan berpihak pada rakyat?
Sejarah sedang menunggu tanda tangan.






