MINANGKABAUNEWS.com, PADANG PARIAMAN – Kaki Nenek Aminah (76) masih membengkak, tetapi matanya sudah lebih berbinar. Di pangkuannya, ia erat menggenggam paket obat dan seikat pakaian bersih. “Kali pertama mereka datang, bawa beras dan buat kami tertawa lepas dari ketakutan. Sekarang, mereka obati luka kami yang dalam,” ujarnya, suaranya parau namun penuh syukur.
Cerita Nenek Aminah adalah satu dari ratusan kisah pulih yang mulai mengemuka di Jorong Asam Pulau, Nagari Anduriang, yang seminggu lalu luluh lantak dihajar banjir bandang. Dan kisah pemulihan itu tidak lahir dari intervensi satu kali. Ia berawal dari kunjungan pertama yang penuh ketepatan, dan kini menemukan bentuknya yang lebih menyeluruh dalam kunjungan kedua yang dipimpin langsung oleh Ketua PW Aisyiyah Sumatera Barat, Dr. Syur’aini, M.Pd., pada Kamis, 11 Desember 2025.
“Hubungan kami dengan warga Asam Pulau ini sudah dibangun sejak gelombang pertama banjir surut. Ini adalah kunjungan kedua kalinya,” ungkap Dr. Syur’aini kepada Minangkabaunews.com di sela-sela koordinasi lapangan. “Pada kunjungan pertama, fokus kami adalah stabilisasi darurat: menghantarkan sembako untuk mengisi perut yang lapar dan melakukan trauma healing untuk menenangkan jiwa yang trauma. Setelah kebutuhan paling mendasar itu terpenuhi, barulah kami kembali dengan pendekatan yang lebih komprehensif.”
Dan “komprehensif” adalah kata yang tepat. Jika pada kunjungan pertama, yang dibawa adalah hiburan dan bahan pokok, kunjungan kali ini menghadirkan “rumah sakit lapangan” dan “klinik jiwa” di tengah reruntuhan. Berkolaborasi dengan RSA Pariaman dan Prodi Bimbingan Konseling Islam UM Sumbar, tim yang dikomandoi Koordinator LLHPB PWA Sumbar Dra. Huriah Khair, M.Si., dan Ketua LLHPB Fitri Yulianis, SE., M.Si., ini membuka layanan pemeriksaan kesehatan gratis, pengobatan, konseling trauma yang lebih mendalam, serta pembagian pakaian layak pakai.
Antrian panjang yang mencapai hampir 100 orang—melampaui perkirakan awal 50 orang—menjadi bukti nyata betapa krusial kehadiran mereka. “Estimasi kami meleset karena kami tidak menyangka akses ke fasilitas kesehatan normal begitu terputusnya. Jarak 15 kilometer ke puskesmas menjadi jurang yang tak terjembatani bagi warga yang kehilangan segalanya,” jelas Fitri Yulianis, sambil sigap mengatur ulang distribusi logistik untuk mengakomodasi lonjakan penerima bantuan.
Di balik efisiensi operasional hari itu, tersirat sebuah filosofi penanganan bencana yang berjenjang dan penuh empati. Dra. Huriah Khair, yang mengawasi langsung proses konseling, menerangkan transisi ini. “Trauma healing di kunjungan pertama sifatnya psychological first aid—pertolongan pertama psikologis untuk meredakan shock. Kunjungan kedua ini kami naikkan levelnya menjadi pendampingan psikososial yang lebih terstruktur, karena setelah rasa aman dan perut terisi, barulah luka batin yang lebih dalam bisa diangkat dan dirawat.”
Pendekatan dua tahap ini ternyata menuai hasil. Ibu Ros (35), yang pada kunjungan pertama hanya bisa terdiam ketakutan, kini di kunjungan kedua sudah mampu bercerita dan bahkan tersenyum kecil dalam sesi kelompok. “Waktu tim Aisyiyah datang pertama, saya masih seperti orang linglung. Mereka ajak bernyanyi, anak-anak saya dikasih mainan. Itu yang buat saya masih punya tenaga sampai hari ini. Sekarang, saya merasa lebih siap untuk bicara tentang rasa takut saya,” akuinya.
Dr. Syur’aini menegaskan bahwa pola intervensi berkelanjutan ini adalah DNA dari LLHPB Aisyiyah. “Kami tidak percaya pada bantuan yang hit and run. Bencana, terutama yang sebesar ini, meninggalkan luka berlapis. Kunjungan pertama kami adalah janji: ‘Kami tidak meninggalkan kalian.’ Kunjungan kedua ini adalah bukti dari janji itu. Dan akan ada kunjungan-kunjungan berikutnya berupa program pemulihan ekonomi dan penguatan ketahanan komunitas,” tegasnya dengan mata yang menatap jauh ke pemukiman warga yang masih dipenuhi lumpur.
Sebagai mata rantai terakhir dari proses pertolongan ini, paket pakaian layak pakai yang dibagikan bukan lagi sekadar barang, melainkan simbol transisi dari sekadar bertahan hidup menuju hidup yang bermartabat. “Baju yang kami bawa pertama kali mungkin untuk mengganti yang basah. Baju yang kami bagikan hari ini, adalah untuk menyambut hari-hari baru mereka,” pungkas Fitri Yulianis.
Saat sore merayap dan tim LLHPB bersiap berpamitan, Nenek Aminah masih duduk di bangku panjang. Kaki yang bengkak tertumpu di atas bangku kecil, namun senyumnya sudah merekah. Di baliknya, jalan rusak dan rumah- rumah yang masih berlumpur menjadi latar yang suram. Namun, di antara kehancuran itu, telah tumbuh keyakinan baru: bahwa bantuan bukanlah tentang sekali datang dan pergi, melainkan tentang kembali, lagi dan lagi, dengan bentuk yang semakin menyentuh inti kebutuhan, dari sekadar mengisi perut hingga menyembuhkan luka yang tak terlihat.






