Demi Buku: Menelisik Petak-Petak “Sawah” Filsafat Melalui Buku Sebelum Filsafat

  • Whatsapp

Buku “Sebelum Filsafat” ini nampaknya menjadi buku yang wajib bagi seseorang yang ingin mengenal lebih dekat filsafat, buku yang bagus dipelajari oleh pemula jika tertarik dengan filsafat, buku yang perlu di pelajari oleh orang yang mengecap filsafat sesat. Buku “Sebelum Filsafat” ini ditulis oleh Fahruddin Faiz, penyunting: Kaha Anwar & Ainia Prihantini. Diterbitkan oleh MJS Press, Jogjakarta. 2013.

Dalam buku ini terdapat bab-bab yang sekiranya akan mudah para pembaca pemula untuk mengetahui filsafat lebih jauh, dengan bahasa yang ringan dan tidak ngjelimet seperti halnya buku-buku pengantar filsafat lainnya. Itulah kelebihan buku ini! Santai, dan tidak bikin puyeng dan mampu membuat para pemula mudah menyerapnya.

Terdapat 15 bab dalam buku “Sebelum Filsafat” ini. (1) Apa itu Filsafat? (2) Mengapa Harus Filsafat? (3) Siapa yang Butuh Filsafat? (4) Filsafat: Antara Produk dan Alat (5) Menjadi Bijaksana dengan Filsafat (6) Petak-Petak “Sawah” Filsafat (7) Dari Mitos Menuju Logos (8) Sikap Mental Seorang Filosof (9) Ten Commandments Filsafat (10) Beriman Sambil Berfilsafat (11) Membaca Teks Filsafat (12) Menulis Teks Filsafat (13) Siap Menjadi Filosof? (14) Apa yang Diperoleh dari Filsafat? (15) Mutiara-Mutiara Filsafat.

Namun saya lebih tertarik membahas pada Bab 6 tentang Petak-Petak “Sawah” Filsafat. Membicarakan filsafat pada awal kemunculannya dipandang sebagai “induk segala ilmu” Dengan penempatan ini sebenarnya mengimplikasikan bahwa berbagai spesifikasi keilmuan yang sekarang kita pelajari, pada dasarnya lahir dari rahim filsafat. Hal ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan apabila melihat bahwa kemampuan berfilsafat pada dasarnya adalah kemampuan untuk mendayagunakan intelejensi manusia dalam porsi dan proposi yang sesuai dan mendalam. Bukankah semua disiplin ilmu yang kita kenal selama belajar pada asalnya adalah juga hasil konstruksi intelejensi manusia?

Ketika intelejensi tersebut dipakai secara optimal untuk mencermati, mengkaji dan membahas hal-hal yang berkenaan dengan dunia sains alam semesta, lahirlah biologi. Jika intelejensi tersebut dipakai untuk menggarap wilayah kekuasaan hubungan antar manusia, lahirlah Ilmu politik, dan ilmu sosial. Ketika intelejensi itu dipakai untuk memahami perkembangan hidup manusia dari taraf yang sederhana hingga sampai masa moderen, lahirlah bidang kajian sejarah dan lain sebagainya. Jadi tidak heran apabila kemudian filsafat yang fokus perhatiannya adalah bagaimana mendayagunakan intelejensi manusia secara optimal dan benar kemudian dipandang sebagai induk segala ilmu. Segala ilmu berawal dari pendayagunaan intelejensi manusia, sementara bidang yang membahas cara pendayagunaan tersebut adalah filsafat, maka jadilah filsafat sebagai ilmu segala ilmu.

Apabila ditelaah lebih jauh, berbagai cabang keilmuan tersebut memerlukan filsafat tidak hanya di awal perumusan kelahirannya, tetapi juga pada saat terjadi kebuntuan-kebuntuan dari cabang-cabang tersebut untuk menjawab persoalan-persoalan baru atau pada saat rumusan ilmu-ilmu tersebut kehilangan relevansi dengan konteks bidang yang digelutinya, yang mengalami perubahan atau perkembangan.

Itulah mengapa misalnya disiplin kajian sosiologi dan ada filsafat sosial. Sampai disini mungkin sudah agak jelas bahwasanya sebenarnya sawah-filsafat itu sangat luas, menyentuh hampir segenap aspek kehidupan kita. Apalagi jika melihat bahwa filsafat merupakan induk segala ilmu seperti disinggung di atas. Banyak ahli filsafat yang berpandangan bahwa lahan kerja seorang Filosof itu pada dasarnya adalah realitas keseharian kita sendiri. Caliaklah apa yang ada di sekitar kita, termasuk menjadi diri sendiri. Itulah lahan filsafat yang sesungguhnya. Lihatlah dan bertanyalah tentang semua itu, lalu carilah jawaban dari pertanyaan kamu itu, maka kita sudah berfilsafat. Jadi filsafat tidak selalu harus berhubungan dengan buku-buku tebal atau diskusi-diskusi di hotel-hotel, karena semua itu sekedar sarana untuk mengekspresikan pandangan kefilsafatan kita.

Para Filosof umumnya banyak filosof membagi sawah filsafat yang luas itu setidaknya ke dalam empat petak besar, petak yang maksud adalah ontologi, epistemologi, aksiologi dan logika; tentunya disamping petak-petak kecil seperti filsafat sosial, filsafat matematika dan lain sebagainya sebagai disebut di muka.

Pertama kita bahas ontologi, ontologi adalah petak yang membicarakan tentang “yang ada”. kamu tidak usah bingung mendengar kata “yang ada” ini, karena yang dimaksud adalah segala sesuatu yang kamu anggap ada, dalam definisi yang paling biasa. Apakah manusia itu ada? Apakah kamu ada? Apakah batu itu ada? Apakah kucing itu ada? Dan lainnya. Kalau ada, mengapa disebut ada; apa ciri-cirinya? Atau mengapa dianggap tidak ada? Bagaimanakah struktur yang ada itu? Apakah yang ada itu harus selalu disentuh oleh perangkat inderawi ataukah tidak harus demikian? Kajian tentang yang ada yang sifatnya tidak bisa disentuh oleh indera biasa disebut dengan meta-fisika, sebagai kebalikan dari fisika yang menggarap wilayah yang bisa digarap oleh panca indera.

Kedua yaitu aksiologi, adapun petak aksiologi menggarap tentang dimensi nilai dalam kehidupan manusia. Secara lebih spesifik bidang ini memiliki dua jalur yang berbeda fokus kajian, yaitu etika dan estetika. Etika menggarap nilai baik dan buruk atau nilai moral dalam kehidupan manusia. Sementara estetika memfokuskan pembahasan kepada wilayah nilai keindahan.

Ketiga-Keempat, epistemologi dan logika. Yang bisa dikatakan epistemologi dan logika adalah nyawa dari filsafat. Epistemologi membahas tentang seluk beluk pengetahuan manusia. Epistemologi mempertanyakan: Apakah yang dimaksud pengetahuan itu? Apa bedanya antara tahu dan tidak tahu? Sementara itu tata cara bernalar secara benar digarap oleh petak logika. Dalam logika dibahas antara lain tentang asas-asas, aturan formal dan prosedur-prosedur normatif, termasuk kriteria-kriteria untuk mengukur benar salahnya sebuah penalaran dan penyimpulan.

 

Ciri paling utama dari kerja kefilsafatan ini adalah sebagaimana yang mudah diketahui banyak orang, yaitu satu refleksi rasional yang radikal-sistematis dan bertujuan mencapai kebenaran. Dengan posisi semacam ini, dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas yang harus dilakukan seorang filosof itu tidak terlepas dari empat hal berikut:

1. Clarifying concepts (memperjelas konsep)

Syarat pertama untuk bisa melakukan clarifying concepts ini adalah kemampuan seseorang untuk memahami segala yang dihadapi dan dilakukannya sebelum ia mengambil kesimpulan atau keputusan tertentu. Dalam keseharian ternyata kita lebih banyak menerima begitu saja segala sesuatu yang “berkeliaran” di hadapan kita dan menyikapinya seperti orang lain, tanpa berusaha mencari kejelasan apa sebenarnya yang berkeliaran tersebut.
Menurut saya pernyataan diatas sangat benar dan harusnya direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, ketika siapapun ingin mengutarakan sesuatu konsep atau pemikiran maka orang tersebut harus memastikan bahwa dia menguasai hal atau bidang tersebut agar apa yang ia ungkapkan dapat dipertanggung jawabkan.

 

2. Constructing Arguments (menyusun argumen-argumen)

 

Kemampuan ini diperlukan karena seorang filosof juga dituntut untuk tidak memutuskan atau melakukan sesuatu tanpa dasar, dan ketika keputusan sudah diambil, seroang filosof harus berani mempertanggung jawabkan apa yang diputuskan dan dilakukannya dengan argumen-argumen. Kemampuan menyusun argumen inilah yang bisa dipakai oleh filosof untuk membebaskan dirinya dari sikap ikut-ikutan yang sebagaimana terjadi pada banyak orang. Keterampilan menyusun argumen ini harus tetap berada dalam kerangka bersikap kefilsafatan yang bercirikan for truth only, hanya demi kebenaran

 

3. Analyzing (menganalisis)

Seorang filosof harus mahir membaca, memahami, menempatkan obyek permasalahan yang sedang dikajinya dalam porsi dan proporsi yang tepat, dan untuk ini diperlukan kemampuan melakukan analisis. Kemampuan melakukan analisis merupakan modal paling besar yang harus dimiliki oleh seorang filosof.

4. Critisizing (mengkritisi)

 

Aktifitas kritis ini bisa dilakukan dengan cara rasionalisasi, reformasi, dekonstruksi, dan bahkan destruksi. Dalam aktifitas kritik ini dilakukan upaya-upaya rasional untuk merumuskan kemvali pemahaman-pemahaman sebelumnya yang keliru kemudian disesuaikan dengan mode-mode rasional tertentu yang baru.

 

Saya kira inilah buku yang sangat layak bagi seseorang yang begitu awam dengan filsafat tetapi ingin mengenal filsafat dengan cara yang mudah dan ringan. Seperti yang ditulis dalam Prolognya:

 

“Tidak semua orang suka teh atau kopi, begitupun terhadap filsafat. Pekatnya kopi yang telah diseduh atau mengeluarkan aroma teh tidak berarti mencirikan kenikmatannya. Layaknya pula mendalami filsafat, seseorang tidak serta - merta langsung paham, apalagi berubah seperti pecinta kebijaksanaan sebagai arti kata “philo” dan sophia” membutuhkan proses, dan proses menapaki dunia filsafat setidaknya tercermin dalam buku ini”

Sebagai penutup saya ingin mengutip kata-kata dari Louis O. Kattsoff dalam buku pengantar Filsafatnya “Filsafat membawa kita kepada pemahaman. Sementara itu, pemahaman membawa kita kepada tindakan yang layak”

 

Oleh: Bima Putra, S.Pd
(Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam UM Sumatera Barat)

Related posts