Di Antara Asap dan Api: Ketika Kerukunan Umat Diuji di Padang Sarai

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE — Di sebuah ruangan sederhana yang bercahaya temaram, suara lembut namun tegas dari seorang ulama sepuh menggema dengan ketenangan yang mengandung daya getar. Ia tak sedang memimpin pengajian, bukan pula sedang berdiri di mimbar Jumat. Hari itu, Buya Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, menerima perwakilan masyarakat yang gusar—gusar karena luka sosial yang mereka anggap mulai menganga di Padang Sarai.
“Jadikan hukum sebagai panglima,” ucap Buya. Kalimat itu bukan sekadar seruan moral, melainkan sebuah garis batas: antara kepanikan dan keadilan, antara kegaduhan dan ketertiban. Di hadapan masyarakat yang menuntut penyelesaian insiden dengan cara yang berkeadaban, Buya memilih jalan terang: hukum, bukan emosi.

Beberapa hari sebelumnya, di Padang Sarai, sebuah kegiatan keagamaan menuai kontroversi. Video yang tersebar cepat di media sosial membakar ruang-ruang percakapan publik. Desas-desus melompat dari satu ruang obrolan ke ruang obrolan lain, menjelma jadi opini yang sulit dibedakan dari fakta. Di tengah kegaduhan itu, muncul istilah yang menggugah banyak tanya: “rumah doa”.
Namun di dalam dokumen negara, di nomenklatur resmi Kementerian Agama, istilah itu tak dikenal. “Kalau internal mereka ingin menyebut rumah doa, silakan,” ujar Buya kemudian, “tetapi dalam interaksi resmi dengan publik dan negara, ukurannya adalah SKB dua menteri.” Yang dimaksud adalah Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat—sebuah regulasi yang selama hampir dua dekade menjadi sumbu penyeimbang dalam relasi antariman.
Buya tak menolak perbedaan. Ia justru mengingatkan bahwa orang Minangkabau telah hidup dalam atmosfer pluralitas sejak ratusan tahun silam. “Lihatlah, etnis Tionghoa, Nias, dan berbagai kelompok lainnya, bisa hidup berdampingan dengan damai di sini. Mereka bukan hanya tamu, tapi bagian dari tubuh sosial kita,” katanya. Ada kebanggaan dalam nada suaranya, bukan karena romantisasi masa lalu, tetapi karena fakta sosiologis yang kerap luput dibaca di tengah percakapan yang makin bising soal intoleransi.

Namun insiden di Padang Sarai menuntut lebih dari sekadar kenangan akan harmoni masa lalu. Ia menuntut kejelasan prosedur, penegakan hukum, dan keberanian menyelidiki bukan hanya asap, tapi juga api. “Kita jangan hanya sibuk mengejar asap yang muncul,” kata Buya, “tetapi cari dan terangilah sumber apinya.”
Ada yang menarik dari diksi itu. Ia tak menyebut pihak tertentu, tak mengarahkan tudingan. Ia mengajak semua pihak, termasuk aparat dan Kementerian Agama, untuk membuka dokumen, menelisik prosedur. “Apakah penyelenggara kegiatan sudah melalui tahapan yang sesuai aturan? Apakah izin sudah diberikan secara benar?” tanyanya, lebih sebagai pengingat ketimbang tuduhan.
Bagi Buya, siapa pun yang menyulut api, baik dari luar atau dalam, harus diselidiki. “Yang menyulut api juga harus dibikin terang. Jangan biarkan masyarakat jadi korban kebingungan.”

Dalam lanskap sosial yang makin rapuh, di mana ketegangan bisa menyebar seperti api di ladang ilalang, suara-suara seperti Buya Gusrizal menjadi semacam tiang penyangga. Ia tak hanya meminjamkan ilmunya, tetapi juga sejarah panjang budaya Minangkabau yang dikenal egaliter dan adil. Bagi Buya, akar kerukunan bukan terletak pada sekadar dokumen hukum, tetapi pada marwah budaya dan semangat kolektif untuk hidup berdampingan.
Ia tahu, masyarakat bisa marah, bisa gelisah. Tapi ia juga tahu, bahwa jalan keluar dari segala kekisruhan bukan dengan mengulangi kesalahan yang sama: membalas narasi yang menyesatkan dengan narasi yang lebih keras, melawan kebingungan dengan kecurigaan. “Jangan lawan mereka dengan cara yang sama. Lawanlah dengan bijak. Kawal proses ini agar berkeadilan,” katanya lagi.

Di tengah percakapan yang melibatkan keyakinan, perbedaan identitas, dan ketegangan sosial, suara Buya berdiri seperti mercusuar. Ia tidak berdiri untuk membela satu pihak dan meninggalkan yang lain, tetapi memanggil semua kembali ke satu titik temu: hukum, prosedur, dan kebijaksanaan kolektif.
Dalam ruang tamu yang penuh hormat itu, masyarakat pulang dengan satu pesan yang menggema lebih kuat dari semua retorika digital: “Minangkabau telah lama hidup rukun, jangan biarkan api kecil menghancurkan warisan besar itu.”
Dan ketika malam kembali turun di Padang Sarai, kita tahu: mungkin masih ada bara yang tersisa. Tapi dengan akal sehat, keadilan, dan ketulusan untuk membuka dialog, bara itu bisa padam—bukan dengan amarah, melainkan dengan keberanian untuk bersikap adil, meski pada pihak yang berbeda iman.

“Biar lambat, asal terang. Jangan biarkan kegaduhan mengaburkan hukum.” — Buya Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa

Related posts