Di Balik Pintu Rumah: Menyoal Fantasi Sedarah yang Menyimpang

  • Whatsapp

Oleh: Khairunnisa (Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan UNAND)

Rumah seharusnya menjadi ruang paling aman, tempat bertumbuhnya cinta, kasih sayang, dan perlindungan. Namun, apa jadinya jika batas antara kasih dan hasrat menjadi kabur?

Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kemunculan sebuah grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah.” Grup ini menyulut kegelisahan karena berisi konten yang menormalisasi hasrat seksual terhadap anggota keluarga sendiri. Tangkapan layar yang tersebar di media sosial begitu mencabik nurani: seorang ayah mengumumkan niat bejat terhadap anak perempuannya yang masih balita; pria lain mengaku melakukan tindakan menjijikkan saat istrinya tak berada di rumah; dan ada pula yang menyebarkan foto istri dan anaknya sendiri sebagai objek fantasi. Mereka tidak lagi sekadar pelaku dunia maya—mereka telah menjelma menjadi predator seksual.

Menurut laporan, grup ini pernah memiliki lebih dari 40.000 anggota sebelum akhirnya ditutup oleh Meta karena melanggar kebijakan komunitas. Namun, persoalan ini bukan semata-mata soal platform digital. Fantasi menyimpang semacam ini bisa berkembang menjadi tindakan nyata: kekerasan seksual dalam rumah tangga—atau yang kita kenal sebagai inses.

Data yang Menggugah Nurani

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang tahun 2025 tercatat 9.216 kasus kekerasan, dengan 3.895 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Tragisnya, sebagian besar terjadi di lingkungan rumah tangga—ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi perempuan dan anak-anak.

Fantasi menyimpang ini adalah benih kekerasan. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, ranah privat selalu mendominasi laporan kekerasan. Dari 433 kasus inses yang tercatat dalam satu tahun, pelaku terbanyak adalah ayah kandung. Fakta ini menegaskan bahwa rumah bisa menjadi ladang kekerasan yang tersembunyi di balik dinding yang tampak damai.

Mengapa Inses Bisa Terjadi?

Inses kerap terjadi dalam ruang yang dianggap aman oleh pelaku: rumah. Beberapa faktor pemicunya antara lain:

  1. Ketimpangan kekuasaan dalam keluarga, yang memberi celah bagi kepala keluarga merasa berhak atas tubuh anggota keluarga lainnya, termasuk anak.
  2. Interaksi tidak sehat yang terlalu intens antar saudara kandung atau kerabat sedarah.
  3. Gangguan psikologis, seperti psikopati atau alkoholisme, sering ditemukan pada pelaku inses, khususnya ayah terhadap anak perempuan.
  4. Kelainan seksual, seperti pedofilia, di mana anak dijadikan objek fantasi seksual.
  5. Keluarga yang tidak harmonis, mendorong pelampiasan frustasi dalam bentuk kekerasan seksual terhadap anggota keluarga.
  6. Pewarisan perilaku secara sosial, di mana korban atau saksi kekerasan masa kecil meniru perilaku tersebut saat dewasa.

Ruang Digital: Lahan Baru Predator

Ketika rumah tak lagi mampu memberi rasa aman, akankah ruang digital menjadi tempat persemaian kekerasan baru?

Jawabannya: tidak boleh! Fantasi sedarah adalah titik mula dari predator seksual. Banyak pelaku kekerasan seksual memulai dari fantasi menyimpang yang dibiarkan tumbuh dan berkembang di dunia maya. Oleh karena itu, pencegahan harus dimulai sejak dini—dari deteksi hingga penindakan.

Langkah konkret yang bisa dilakukan:

  • Laporkan grup atau akun media sosial yang menyebarkan konten menyimpang. Platform digital kini menyediakan fitur pelaporan, seperti “Laporkan Grup.”
  • Teruskan informasi mencurigakan kepada pihak berwenang, seperti kepolisian atau unit siber, agar dapat diproses secara hukum.
  • Perkuat literasi digital dan pendidikan seksualitas, berbasis perlindungan anak. Edukasi sejak dini membuat anak lebih tangguh dalam menghadapi narasi menyimpang.
  • Tingkatkan pengawasan orang tua, serta bangun komunikasi yang terbuka dan sehat dalam keluarga.

Menutup Pintu Bagi Kekerasan

Kita semua bertanggung jawab menjaga ruang—baik nyata maupun digital—agar tetap aman dari kekerasan. Rumah harus kembali menjadi pelukan yang nyaman, bukan perangkap sunyi. Media sosial harus menjadi wadah ekspresi yang sehat, bukan tempat tumbuhnya kekeliruan.

Melindungi anak dan keluarga adalah tugas bersama. Ia dimulai dari keberanian untuk melapor, komitmen untuk menyuarakan kebenaran, dan tekad membangun ruang aman, tempat di mana setiap anak bisa tumbuh tanpa takut, dan setiap keluarga menjadi benteng yang melindungi, bukan merusak.

Related posts