MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Senin, 29 Desember 2025, bukan hari biasa bagi Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa. Di depan gedung megah MUI Sumatera Barat yang baru diresmikan, sang pemimpin yang telah mengabdi selama dua periode ini berdiri dengan penuh wibawa, menatap para ulama, tokoh masyarakat, dan ribuan umat yang hadir. Wajahnya memancarkan campuran kebanggaan dan kekhawatiran.
“Alhamdulillah, pertanyaan umat dan tamu MUI telah terjawab dengan selesainya pembangunan gedung lima lantai ini,” ucapnya memulai sambutan. Namun, yang keluar selanjutnya bukanlah rayuan manis perayaan, melainkan peringatan keras yang membuat hadirin terdiam.
“Di akhir periode saya, saya ingatkan para ulama: jangan sampai terjebak oleh kemegahan gedung MUI ini sehingga tidak lagi berada di tengah umat!”
Suara Buya Gusrizal bergema di kawasan kompleks ABS-SBK, menembus gedung LKAAM dan Bundo Kanduang yang mengapit gedung MUI, menyeberang ke Masjid Syekh Ahmad Khatib Alminangkabawi di hadapannya. Ini bukan sekadar pidato perpisahan. Ini adalah wasiat seorang pemimpin yang telah menghabiskan dua periode kepemimpinannya untuk membangun, bukan hanya gedung, tetapi juga kesadaran kolektif tentang esensi kepemimpinan ulama.
Perjalanan Dua Periode: Dari Kerinduan hingga Kenyataan
Ketika Buya Gusrizal pertama kali memimpin MUI Sumbar, kerinduan untuk memiliki kantor yang layak adalah impian yang tampak jauh. “Kerinduam untuk memiliki kantor, akhirnya harapan bisa terwujud,” katanya dengan suara bergetar.
Perjalanan panjang dari perencanaan tahun 2022 hingga rampung 12 Desember 2025 bukanlah tanpa hambatan. Dana APBD sebesar Rp24 miliar untuk gedung lima lantai ini harus diperjuangkan di tengah berbagai kepentingan pembangunan daerah lainnya. Namun, dengan dukungan Gubernur Mahyeldi dan keseriusan Ketua Panitia Pembangunan Gedung MUI yang juga Sekda Sumbar, Arry Yuswandi, mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan.
“Gedung yang diapit oleh LKAAM dan Bundo Kanduang di sebelah barat, menghadap ke Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Alminangkabawi, ini betul-betul posisi yang Allah takdirkan,” ujar Buya Gusrizal dengan keyakinan mendalam.
Bagi beliau, posisi strategis ini bukan kebetulan. Ini adalah manifestasi fisik dari filosofi Minangkabau yang selama ini dijaga: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. MUI berada di tengah, menjadi jembatan antara adat (LKAAM), perempuan Minang (Bundo Kanduang), dan pusat spiritual (masjid).
Lebih dari Sekadar Gedung: Menjawab Keraguan Umat
“Keberadaan gedung ini diharapkan setidaknya menjawab keraguan umat, bahwa MUI membawa wibawa ulama dan menyandang khidmat keummatan,” kata Buya Gusrizal dengan nada reflektif.
Pernyataan ini mengandung makna yang dalam. Selama bertahun-tahun, MUI Sumbar beroperasi dengan fasilitas terbatas, sering kali meminjam ruang untuk pertemuan dan kegiatan. Kondisi ini kerap menimbulkan pertanyaan di kalangan umat: Apakah MUI cukup kuat? Apakah MUI diperhatikan oleh pemerintah? Apakah MUI mampu menjalankan perannya dengan optimal?
Kini, dengan berdirinya gedung megah berlantai lima di kawasan paling strategis Kota Padang, pertanyaan-pertanyaan itu terjawab. Namun, Buya Gusrizal—dengan kearifan seorang pemimpin yang telah mengabdi dua periode—tahu bahwa gedung hanyalah simbol. Yang sesungguhnya adalah isinya: para ulama yang harus tetap dekat dengan umat.
Wasiat Seorang Pemimpin: Ulama adalah Garda Terdepan
Di penghujang masa kepemimpinannya, Buya Gusrizal meninggalkan wasiat berharga tentang empat posisi strategis ulama sebagai garda terdepan:
Pertama, garda terdepan dalam dakwah. “Ulama tidak boleh mengurung diri. Gedung ini bukan istana yang memisahkan kita dari umat, tetapi basecamp untuk turun ke lapangan,” tegasnya.
Kedua, garda terdepan dalam amar ma’ruf nahi munkar. Di era di mana nilai-nilai moral semakin terkikis, ulama harus berani bersuara, meski tidak populer.
Ketiga, garda terdepan dalam kesyahidan. “Kesyahidan bukan hanya soal kematian fisik, tetapi keberanian mati-matian membela kebenaran,” jelasnya.
Keempat, garda terdepan dalam persoalan krusial keummatan. Dari isu ekonomi syariah, penyimpangan aqidah, hingga degradasi akhlak generasi muda—semua membutuhkan peran aktif ulama.
“Para ulama adalah pewaris para nabi,” lanjut Buya Gusrizal dengan suara yang semakin mantap. “Sesungguhnya nabi tidak mewariskan harta dan jabatan. Nabi mewariskan ilmu melalui peran strategis ulama. Ini yang harus kita jaga!”
Pesan Persatuan: Tanggalkan Baju Ormas di Pintu MUI
Salah satu pesan paling mengena dari Buya Gusrizal adalah tentang persatuan. “Para ulama harus terus menjaga kesolidan dan jangan mau dipecah belah dari luar. Tanggalkan pakaian ormas ketika masuk ke gedung MUI. Bersatu dalam khidmat keummatan!”
Pesan ini lahir dari pengalaman panjang beliau melihat dinamika internal MUI. Kerap kali, ego organisasi kemasyarakatan mengalahkan kepentingan umat yang lebih besar. Beliau menegaskan bahwa gedung MUI harus menjadi zona netral, tempat di mana semua ulama dari berbagai latar belakang ormas melepaskan identitas organisasi mereka dan berfokus pada satu tujuan: khidmat untuk umat.
“Posisi strategis gedung ini yang berada di tengah, di antara ninik mamak, bundo kanduang, dan masjid, betul-betul harus dimanfaatkan. MUI adalah penjaga ABS-SBK dan garda terdepan dalam menghadapi penyimpangan aqidah dan akhlak generasi muda,” tegasnya.
Kehadiran Buya Anwar Abbas: Pengakuan dari MUI Pusat
Kehadiran Buya Dr. Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI Pusat yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Fatwa dan Metodologi Fatwa MUI Pusat periode 2023-2028, memberikan bobot tersendiri pada acara peresmian ini. Kedatangan tokoh sekaliber Buya Anwar bukan hanya menghormati Buya Gusrizal, tetapi juga mengakui pentingnya peran MUI Sumbar dalam konstelasi keummatan nasional.
“Saya datang hari ini bukan hanya untuk meresmikan gedung, tetapi untuk menghormati perjuangan Buya Gusrizal selama dua periode,” ujar Buya Anwar dengan tulus.
Sebagai Ketua Bidang Fatwa dan Metodologi Fatwa MUI Pusat, Buya Anwar Abbas memahami betul kompleksitas tantangan yang dihadapi MUI daerah. Metodologi fatwa yang harus konsisten dengan MUI Pusat, namun tetap kontekstual dengan budaya lokal, membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan visioner—dan Buya Gusrizal telah membuktikan dirinya.
“Buya Gusrizal telah menunjukkan bahwa kepemimpinan ulama bukan soal popularitas, tetapi soal keberanian mengambil keputusan yang benar meski tidak populer,” tambah Buya Anwar.
Namun, Buya Anwar juga tidak segan memberikan kritik membangun. “Tidak hanya tampak gedung MUI, tapi tampak pula gedung kanan kirinya— Gedung LKAAM dan gedung Bundo Kanduang—sebagai penjaga dan pemelihara falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Gedung MUI harus bisa menjamah ke kiri dan ke kanan, agar adat tidak menyimpang dengan ketentuan syarak dan tidak bertentangan konstitusi. Ini tugas kita bersama.”
Yang paling mengena adalah kritiknya tentang inklusivitas: “Saya menyentil, jangan sampai hanya satu dua ormas saja yang mendominasi di MUI. MUI harus menjadi rumah besar bagi seluruh umat!”
Buya Anwar kemudian mengutip pesan Jenderal Sudirman: “Mau menang harus kuat, mau kuat harus bersatu!” Ia mengadaptasi semangat perjuangan kemerdekaan ini untuk konteks kekinian, mengajak umat Islam di Sumbar agar bersatu padu demi kejayaan Islam dan Indonesia.
Pengakuan Gubernur: Sumbar Penyelamat NKRI
Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi, memberikan perspektif historis yang menarik. “Sumatera Barat adalah penyelamat NKRI ketika ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dan ibukota dipindahkan ke Bukittinggi. Dan MUI Sumbar ada lebih dulu sebelum MUI di Jakarta. Jadi usia MUI Sumbar jauh lebih tua dari MUI Pusat!”
Pernyataan ini memberikan konteks penting tentang mengapa kepemimpinan Buya Gusrizal begitu krusial. MUI Sumbar bukan organisasi biasa—ia adalah pelopor, penjaga tradisi, dan mercusuar bagi MUI di daerah lain.
“Terima kasih Buya Gusrizal atas dedikasi selama dua periode sebagai Ketum MUI Sumbar. Terima kasih kepada Buya Anwar yang berkiprah di MUI Pusat. Semoga Ketua Umum MUI Sumbar yang baru bisa memberikan bimbingan dan nasihat kepada gubernur untuk terus melayani umat,” pungkas Mahyeldi dengan hormat.
Warisan Pusat Khidmat yang Ditinggalkan
Saat meninggalkan podium, Buya Gusrizal meninggalkan lebih dari sekadar gedung berlantai lima senilai Rp24 miliar. Beliau meninggalkan warisan kepemimpinan yang utuh:
Pertama, visi bahwa ulama harus tetap dekat dengan umat, tidak terjebak kemegahan fasilitas.
Kedua, komitmen pada persatuan di atas ego organisasi.
Ketiga, keberanian menjadi garda terdepan dalam menghadapi tantangan keummatan.
Keempat, pemahaman mendalam bahwa ulama adalah pewaris nabi—pewaris ilmu, bukan harta atau jabatan.
“Keberadaan kantor MUI bagaikan cahaya yang muncul di tengah hingar bingar persoalan keummatan,” kata Buya Gusrizal di akhir sambutannya. Namun, beliau juga mengingatkan bahwa cahaya itu harus terus menyala, terus menerangi, tidak boleh redup atau—lebih parah lagi—menjadi cahaya yang hanya bersinar untuk dirinya sendiri.
Tantangan untuk Generasi Penerus
Bagi siapa pun yang akan menggantikan Buya Gusrizal di periode berikutnya, standar telah ditetapkan sangat tinggi. Gedung megah ini bisa menjadi berkah atau bisa menjadi kutukan. Berkah jika digunakan sebagai basecamp untuk turun ke tengah umat. Kutukan jika menjadi menara gading yang memisahkan ulama dari realitas kehidupan umat.
Peringatan Buya Gusrizal di akhir kepemimpinannya adalah kompas bagi penerusnya: “Jangan terjebak kemegahan gedung ini!” Dalam konteks kepemimpinan Buya Anwar Abbas di tingkat nasional dan Buya Gusrizal Gazahar sebagai Ketua Bidang Metodologi Fatwa MUI Pusat, standar metodologi fatwa yang ketat namun kontekstual harus dijaga.
MUI Sumbar, dengan sejarahnya yang lebih tua dari MUI Pusat, memiliki tanggung jawab historis untuk tetap menjadi pelopor, bukan sekadar pengikut. Gedung yang kini berdiri megah di kawasan ABS-SBK adalah simbol fisik dari tanggung jawab itu.
Saat matahari terbenam di ufuk barat Kota Padang, siluet gedung MUI yang berlantai lima itu tampak menjulang, diapit oleh LKAAM dan Bundo Kanduang, berhadapan dengan kubah Masjid Syekh Ahmad Khatib Alminangkabawi. Pemandangan ini indah, simbolis, dan penuh makna.
Namun, pertanyaan yang ditinggalkan Buya Gusrizal tetap menggantung di udara: Akankah gedung ini menjadi cahaya yang menerangi jalan umat, atau justru menjadi bayang-bayang yang menghalangi ulama untuk dekat dengan umat?
Hanya waktu dan kepemimpinan penerus Buya Gusrizal yang akan menjawabnya. Yang pasti, wasiat beliau telah disampaikan dengan jelas di penghujung masa kepemimpinannya. Kini giliran generasi penerus untuk membuktikan bahwa mereka layak mewarisi kepercayaan umat dan meneruskan perjuangan para ulama sebagai pewaris para nabi.
“Para ulama pewaris para nabi, namun sesungguhnya nabi tidak mewariskan harta dan jabatan—nabi mewariskan ilmu melalui peran strategis ulama.”
Pesan ini akan terus bergema, jauh melampaui masa jabatan Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa sebagai Ketua MUI Sumatera Barat.






