MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE–Udara laut di Muaro Baru Pasie Jambak pagi itu masih menggendong kabut tipis dan aroma asin yang menusuk. Di pelataran yang menghadap langsung ke selat, puluhan nelayan sudah berkumpul. Tangan-tangan mereka yang berkulit terbakar matahari dan berurat, biasanya menggenggam jaring atau mengendalikan kemudi perahu, kini dilipan dengan khidmat. Ada harapan yang terpancar dari sorot mata mereka, bercampur dengan sikap wait and see yang khas orang-orang yang akrab dengan ketidakpastian laut.
Hari itu, Kamis di akhir September 2025, bukan hari melaut yang biasa. Wakil Wali Kota Padang, Maigus Nasir, hadir di tengah komunitas yang hidupnya ditentukan oleh gelombang dan musim. Kedatangannya bukan sekadar seremonial. Ia membawa serta sesuatu yang lebih nyata dari sekadar janji: mesin tempel yang berderet mengkilap, tumpukan jaring baru yang masih berbau plastik, fish box yang kosong menunggu isi, dan ratusan ribu benih kehidupan—nila, lele, gurame—yang diharapkan bisa tumbuh menjadi tumpuan ekonomi baru.
“Ini adalah bukti bahwa pemerintah tidak hanya hadir dalam retorika, tetapi dalam aksi yang bisa menyentuh langsung kehidupan warga,” ujar Maigus, suaranya bersaing dengan debur ombak yang pecah di tepian. Program ini, katanya, adalah dua sisi mata uang yang sama: memperkuat ketahanan pangan dan sekaligus mengangkat harkat hidup para nelayan.
Di belakang pak wakil, Alfiadi, Kepala Dinas Perikanan dan Pangan Kota Padang, berdiri dengan daftar panjang bantuan yang terdengar seperti kidung penebar harapan. Sembilan belas mesin tempel, enam puluh empat fish box, hampir dua ratus jaring, sebuah perahu fiber, oven pengasapan, freezer, dan 8,3 ton pakan untuk menyambut nyawa-nyawa kecil di benih ikan yang disebar. Angka-angka itu, di telinga para nelayan, bukanlah statistik. Mereka adalah potongan-potongan puzzle yang bisa menyempurnakan gambar kehidupan mereka yang seringkali compang-camping.
Syafrizal, seorang nelayan berusia 47 tahun dari Pasia Nan Tigo, adalah salah satu yang merasakan langsung denyut nadi harapan itu. Wajahnya yang keriput merekah dalam senyum lega. “Alhamdulillah,” ucapnya, tangannya seolah masih membayangkan menggapai gagang mesin tempel baru yang akan menggantikan mesin tuanya yang sering ngadat. “Dengan alat yang lebih baik, kami bisa menjangkau laut yang lebih dalam, lebih jauh. Bukan cuma soal hasil tangkapan, tapi juga soal keselamatan. Laut itu ibu yang baik, tapi juga bisa marah. Kami butuh anak kunci yang tepat untuk menghadapinya.”
Kisah Syafrizal adalah cermin dari ribuan nelayan di pesisir Padang. Melaut dengan peralatan seadanya, berjibaku dengan biaya solar yang terus membumbung, dan pulang dengan hasil yang kadang hanya cukup untuk menutupi utang di warung. Bantuan mesin itu bagai oksigen bagi paru-paru yang sesak.
Namun, upaya Pemerintah Kota Padang tak berhenti di situ. Di sela-sela penyerahan bantuan, ada Gerakan Pangan Murah (GPM)—sebuah bazar yang menawarkan kebutuhan pokok dengan harga yang tak membebani. Beras, minyak, telur, cabai, bawang, hingga daging ayam dan sapi beku dijajakan. Ini adalah strategi kedua: selain memberdayakan para pencari nafkah, juga meringankan beban para ibu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dapur.
Komitmen jangka panjang juga mengemuka. Maigus menyebut perjuangan untuk mendapatkan dukungan dari pusat dan provinsi, termasuk mewujudkan Kampung Nelayan Merah Putih di Padang Sarai dan merehabilitasi Sentra Pengolahan Perikanan Pasia Nan Tigo. Ini adalah visi yang lebih besar: mentransformasi komunitas nelayan dari sekadar kumpulan pencari ikan menjadi pusat ekonomi yang terintegrasi, dari tangkap hingga olah dan jual.
Kegiatan yang dihadiri sekitar 100 nelayan perwakilan dari berbagai kelompok usaha itu diakhiri dengan jabat tangan dan ucapan terima kasih. Para camat dan lurah hadir, menyaksikan sebuah babak baru ditorehkan. Laut biru di kejauhan seakan menyimpan janji. Para nelayan pun beranjak, membawa pulang bukan hanya mesin dan jaring, tetapi sepercik keyakinan bahwa perjuangan mereka di laut yang tak pernah bersahabat sepenuhnya, tidak lagi sendirian. Mereka kembali ke rumah dengan langkah yang sedikit lebih ringan, siap menebar jaring esok hari, dengan harapan yang lebih kokoh dari sebelumnya.






