MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Pada sebuah pagi yang sejuk di Sumatera Barat, aroma tembakau yang menggantung di warung-warung kecil bukan hanya menjadi penanda aktivitas ekonomi rakyat, tetapi juga sebuah simbol ironi: rokok-rokok itu banyak yang tidak bercukai, tidak berlabel resmi, dan tetap lolos dari radar hukum. Bukan baru kemarin, bukan pula setahun lalu. Ini adalah cerita lama yang tak kunjung selesai.
Tercatat sejak 2018, Sumatera Barat menduduki peringkat teratas dalam peredaran rokok ilegal di Indonesia. Dan hingga kini, fenomena itu belum surut. Atas kenyataan ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menyatakan kekecewaannya secara terbuka. Kekecewaan yang tak lagi dibalut basa-basi diplomasi.
Rahmat Hanafi, Direktur Kerja Sama & Kemitraan Strategis DPP IMM, menyebutnya dengan tegas: “Ini bukan sekadar kelalaian, ini alarm dari sebuah kegagalan struktural.” Bertahun-tahun berlalu, lanjutnya, negara hanya menonton. “Kalau terus begini, rakyat menjadi korban dua kali: kehilangan hak ekonomi dan diracuni secara kesehatan.”
Dalam analisis IMM, peredaran rokok ilegal yang tak terkendali adalah gejala dari tiga penyakit lama dalam tubuh negara:
1. Lumpuhnya pengawasan oleh Bea Cukai dan aparat hukum.
2. Kemungkinan adanya pembiaran terstruktur atau bahkan kolusi diam-diam.
3. Komitmen negara yang semakin pudar dalam menjaga penerimaan negara dan masa depan generasi muda.
Bukan hanya menguapkan potensi triliunan rupiah dari kas negara, rokok ilegal juga menandai runtuhnya kontrol kualitas yang seharusnya menjaga masyarakat kecil dari paparan zat berbahaya yang tidak terstandarisasi. Rokok-rokok itu menyebar tanpa kendali, menembus lorong-lorong desa dan kios-kios kota, sementara negara memilih diam di balik meja audit dan laporan setengah matang.
Hanafi kembali menekankan, “Negara jangan berpura-pura tak tahu. Jika tak ada tindakan nyata dalam waktu dekat, IMM siap menggalang gerakan nasional untuk mengawal isu ini. Dari Sumatera Barat, kami akan mengirim pesan ke pusat: cukup sudah ketidaksungguhan ini.”
IMM pun menyerukan tiga langkah konkrit:
1. Kementerian Keuangan untuk melakukan audit menyeluruh terhadap Kantor Bea Cukai di Sumatera Barat.
2. KPK untuk turun tangan dengan penyelidikan independen terhadap kemungkinan adanya pembiaran atau praktik gelap dalam pengawasan cukai.
3. Jika tidak ada perubahan dan perbaikan sistemik, pimpinan Bea Cukai harus dievaluasi secara terbuka—bahkan, jika perlu, dicopot.
Bagi IMM, peran mahasiswa tidak berhenti pada kritik kosong. “Kami hadir sebagai mitra kritis negara. Dalam demokrasi yang sehat, suara moral publik harus tetap hidup,” pungkas Hanafi.
Di negeri yang asapnya lebih cepat menyebar dari pada tanggung jawab, seruan IMM terdengar seperti sebuah lonceng kecil di tengah keramaian: mengingatkan bahwa hukum tak boleh hanya tajam ke bawah, dan pengawasan negara tak boleh mati rasa.






