Digitalisasi Dakwah Muhammadiyah: Empat “Kekebalan” yang Wajib Dimiliki Warga di Era Digital

  • Whatsapp

Oleh: Advokat Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat

Gelombang digital telah mengubah segalanya, tak terkecuali medan dakwah. Layaknya lautan tanpa tepi, dunia siber berkembang dengan pesat yang tak terbendung. Sasaran utamanya? Generasi berusia 10 hingga 44 tahun, yang hidupnya tak bisa lepas dari genggaman ponsel pintar dan aplikasi media sosial. Bagi warga Muhammadiyah, ini bukan sekadar tantangan, melainkan ladang dakwah baru yang tak boleh diabaikan. Lalu, bagaimana menyelami lautan digital tanpa tenggelam dalam arusnya?

Jawabannya terletak pada dua fondasi utama: Empat Pilar Literasi Digital dan Empat Karakter Muhammadiyah di Era Digital. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Pilar dan Karakter: Fondasi Berdakwah di Ruang Digital

Kehidupan digital menuntut kecakapan. Digital Skill adalah kemampuan teknis untuk mengarunginya. Namun, kecakapan saja tak cukup. Ia harus dilandasi oleh Digital Culture—kesadaran untuk menjadi warga digital yang beradab. Selanjutnya, Digital Ethics menjadi kompas moral dalam setiap interaksi, sementara Digital Safety adalah tameng untuk melindungi diri dari marabahaya dunia maya.

Keempat pilar ini akan rapuh jika tidak disangga oleh karakter yang kokoh. Di era digital, karakter Muhammadiyah dimaknai sebagai:

1. Beragama yang Kokoh dan Kuat: Ini bukan sekadar keyakinan di hati, melainkan keteguhan aqidah yang teruji di tengah gempuran informasi. Terlihat dari ibadah yang konsisten, akhlak yang terjaga, dan empati sosial yang mengalir deras, bahkan di balik layar.
2. Berilmu Pengetahuan Luas dan Tinggi: Di alam yang penuh hoaks, rasa ingin tahu yang besar dan kemampuan analisis yang kuat adalah senjata. Ini melahirkan komunikasi yang efektif dan berpikir kritis, bukan sekadar menyebar informasi tanpa saring.
3. Kemanusiaan yang Mendalam: Ruang digital seringkali mematikan rasa. Karakter ini mengingatkan kita pada empati, kompas moral yang tajam, kasih sayang, dan kerendahan hati. Sebuah pengakuan bahwa di balik setiap profil, ada manusia dengan perasaan.
4. Spiritualitas yang Positif: Koneksi yang harmonis dengan Sang Pencipta menjadi sumber makna hidup. Ia memancarkan kedamaian batin, rasa syukur yang dalam, dan kemampuan untuk memaafkan—nilai-nilai yang langka di tengah hiruk-pikuk media sosial.

Kemanusiaan dan Spiritualitas: Penyeimbang Kehidupan Digital

Dua karakter terakhir—Kemanusiaan yang Mendalam dan Spiritualitas yang Positif—adalah penawar dari dampak dehumanisasi era digital. Ketika empati dan kasih sayang menjadi pedoman, setiap unggahan dan komentar akan lahir dari niat berbagi kebaikan, bukan menyakiti. Ketika spiritualitas positif menjadi dasar, pengguna tidak akan kehilangan arah dalam mencari validasi di dunia maya, karena sumber kebahagiaan dan kedamaian telah ditemukan dalam dirinya sendiri.

Dengan pondasi ini, seorang warga Muhammadiyah tidak sekadar menjadi penonton atau pengguna pasif. Ia mampu menjadi dai digital yang efektif: berpikir kritis, berkontribusi nyata, dan menebar manfaat dengan strategi berjejaring yang kuat. Semakin banyak saluran media, semakin luas pula kesempatan untuk menyirami ranah digital dengan informasi yang mencerahkan.

Pada akhirnya, di tengah lautan informasi yang tak bertepi, Empat Pilar dan Empat Karakter ini adalah kompas dan layar. Mereka memandu setiap warga Muhammadiyah untuk tidak hanya selamat sampai tujuan, tetapi juga menjadi nahkoda yang menebar kemanfaatan dalam setiap pelayaran dakwah di era digital. Bukan lagi soal bertahan, tapi tentang merawat jati diri sambil memimpin peradaban.

Related posts