Oleh: Farhana ‘Ainaya Qalbi1 & Desi Asmaret2
( 1) Mahasiswa Universitas Gajah Mada, (2) Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)
Usai COVID-19 angka tindakan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di Indonesia melonjak tajam. Jika dibandingkan angka kekerasan tahun 2020 dengan 2021 terdapat peningkatan signifikan sebesar 50%. Pelaku kasus tertinggi tercatat dilakukan oleh laki-laki disertai korban perempuan.
SIMFONI-PPA melaporkan bahwa tercatat pada periode 2021 pelaku kekerasan sering dilakukan oleh jenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 89,7%. Pernyataan tersebut didukung oleh temuan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan atau biasa disebut dengan Rekso Dyah Utami Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mencatat bahwa korban kekerasan didominasi jenis kelamin perempuan sebesar 97% dari total keseluruhan kasus per tahun 2020.
Menurut teori psikoanalisis, bahwa kekerasan sejatinya dikonseptualisasikan sebagai dorongan pelestarian diri primer dan biologis yang berfungsi untuk kelangsungan hidup organisme manusia (Giacolini & Sabatello, 2019). Sebaliknya, Bandura melalui teori social learning teory menjelaskan bahwa perilaku agresif timbul akibat eksposur terus menerus terkait contoh perilaku agresif (Bandura et al., 1961). Sehingga, terdapat dua faktor yang memungkinkan munculnya agresivitas yang besar pada laki-laki. Pada essay ini akan membahas faktor yang paling berperan terhadap besarnya agreasivitas pada laki-laki berdasarkan faktor nature dan nurture.
Salah satu faktor nature yang paling banyak dibahas pada penelitian sebelumnya adalah peran hormon testosteron dimana horman tersebut paling banyak dimiliki oleh laki- laki. Mehta & Beer (2010) menunjukkan bahwa testosteron meningkatkan kecenderungan terhadap agresi karena berkurangnya aktivasi saraf sirkuit kontrol impuls dan pengaturan diri. Kuantitas agresivitas tersebut akan semakin meningkat saat menginjak usia remaja awal, saat level testosteron meningkat sepuluh kali lipat. (Mazur & Booth, 1998).
Korelasi antar agresivitas dan testosteron pada laki-laki memiliki beberapa bantahan dari penelitian lainnya. Hal tersebut dibuktikan oleh temuan Mehta et al (2008) yang melihat testosteron terhadap perempuan lebih berkorelasi pada tinggi rendahnya sifat kompetitif dibandingkan sifat agresivitas disebabkan dorongan dominasi sosial. Selain itu, perubahan testosteron belum menunjukkan posisi sebagai penyebab perilaku agresivitas, melainkan hasil dari agresivitas itu sendiri. Contoh dapat dilihat ketika seseorang mengikuti sebuah kompetisi yang membutuhkan sebuah agresivitas. Kadar testosteron akan tetap tinggi untuk pemenang pertandingan kompetitif dan turun lebih rendah untuk yang kalah (Booth et al., 1989).
Agresivitas pada laki-laki tidak sepenuhnya disebkan faktor biologis dan fisik, sifat warisan hanya bisa terlaksana jika wadah atau adanya faktor eksternal yang mendorongnya. Salah satu faktor eksternal yang paling mencolok adalah konsep budaya di beberapa negara, seperti konsep kehormatan pada laki-laki. Contohnya, penelitian yang menyoroti siklus penghinaan-agresi dalam budaya kehormatan di negara Amerika Serikat bagian Selatan dibandingkan dengan Amerika Serikat bagian utara dimana respon yang lebih besar didapat pada Amerika Serikat bagian selatan. Orang selatan lebih cenderung berpikir reputasi maskulin mereka terancam, lebih kesal (seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan kadar kortisol), siap untuk agresi (seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan kadar testosteron), Lebih siap secara kognitif untuk agresi, serta lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku agresif dan dominan (Cohen et al., 1996). Tentunya penelitian ini berlaku terhadap pria yang masih berpegang teguh terhadap pemikiran tradisional tentang pentingnya menjaga konsep maskulinitas (Harrington, 2021).
Pelancaran aksi kekerasan dapat semakin mudah terlaksana akibat dorongan masyarakat setempat. Bisa dilihat terhadap budaya India yang memiliki budaya tradisional patriaki yang kental. Posisi perempuan di India tidak memiliki kendali independen terhadap seks. Jika seorang wanita menolak hubungan seksual, itu dapat dianggap sebagai ancaman langsung oleh laki-laki terhadap maskulinitas mereka, memicu krisis identitas laki-laki yang berkontribusi pada kontrol dan kekerasan seksual seperti yang terlihat sebagai cara untuk menyelesaikan krisis ini (Kalra & Bhugra, 2013).
Kekuasaan laki-laki juga ditemukan di sebagian besar rumah tangga Indonesia yang mendikte bahwa laki-laki memiliki hak untuk menggunakan kendali penuh atas perempuan dan anak-anak dalam rumah tangga. Pria memiliki posisi kekuasaan berbicara secara sosial, sehingga mereka berpikir bahwa mereka dibenarkan untuk melakukannya apa pun yang “baik untuk keluarga” di mata mereka. Hal tersebut berakhir pada normalisasi kekerasan pada perempuan dan anak (Andina et al., 2020).
Agresivitas pada laki-laki memang dapat dipengaruhi oleh nature dan nurture. Pada nature, peran testosteron mendominasi pria untuk melakukan tindak kekerasan. Namun, testosteron hanya berpengaruh pada sikap dominasi pria jika diimbangi oleh normalisasi budaya yang mencegahnya. Faktor nurture, seperti subkultural kehormatan, mengakibatkan dorongan yang lebih besar terhadap testosteron untuk dominasi yang lebih besar. Sehingga, memungkinkan pria untuk melakukan tindak kekerasan yang fatal.
Oleh sebab itu, agama Islam telah membatasi dominasi laki-laki itu dengan kelebihan satu tingkat sebagai seorang suami, dimana para mufassir (ahli tafsir) memahaminya dengan kelebihan tanggung jawab atau kewajiban sebagai pencari nafkah dan pemberi mahar serta menggauli dengan ma’ruf, patut dan menjauhi diri dari perbuatan maksiat, bukan kelebihan akan kemuliaan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah [2]: 228. “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkat kelebihan dari pada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”