DPRD Padang Perkuat Payung Hukum Adat Minangkabau: Dari Slogan ke Aksi Nyata, Libatkan Ninik Mamak hingga Tokoh Adat Minang

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PARIWARA DPRD PADANG — Di ruang rapat DPRD Kota Padang, pada Selasa (9/12) yang lalu, suasana terasa berbeda. Bukan hanya anggota dewan yang duduk berdiskusi, tetapi juga para tetua adat dengan sirih pinang di tangan, Ninik Mamak dan Penghulu dari sepuluh nagari yang telah berdiri kokoh jauh sebelum Indonesia lahir. Mereka hadir dalam sebuah rapat penting Panitia Khusus III DPRD Padang, membahas sebuah rancangan yang diharapkan menjadi “penyelamat” budaya: Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penguatan Lembaga Adat dan Pelestarian Adat Budaya Minangkabau di Kota Padang.

Latar belakangnya adalah sebuah tantangan nyata. Sistem pemerintahan terendah di Padang adalah kelurahan, bukan nagari—satuan masyarakat hukum adat Minangkabau. Tanpa payung hukum yang kuat, kekhawatiran akan tergerusnya nilai-nilai luhur adat di tengah arus modernisasi semakin nyata. Ranperda ini hadir sebagai jawaban, upaya untuk menjamin bahwa warisan leluhur tetap hidup dan bernafas dalam struktur pemerintahan kota.

Ketua Pansus III DPRD Padang, Mulyadi Muslim, dengan tegas menjelaskan momentum ini. “Ini didorong oleh pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat,” ujarnya. UU itulah yang mengubah status filosofi hidup orang Minang, “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”, dari sekadar slogan yang digaungkan di berbagai acara, menjadi amanah konstitusi yang wajib dijabarkan dalam hukum daerah. “Inilah alasan kita membuat Perda,” lanjut Mulyadi, suaranya berwibawa,

Rapat pembahasan pansus III terkait peraturan adat

“untuk memastikan adat budaya Minangkabau kita ini bisa kita lestarikan sesuai dengan versi mereka, karena merekalah pemilik nagari, merekalah pemilik adat.”

Semangat yang sama, dengan nada yang lebih menggugah, datang dari seorang tokoh yang tak asing lagi: Fauzi Bahar, Mantan Wali Kota Padang yang kini memegang tampuk Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat. Dengan otoritasnya sebagai mantan kepala daerah dan ketua adat tertinggi di provinsi, Fauzi menegaskan pentingnya tindakan nyata. “Kita tidak boleh hanya berhenti pada slogan ‘adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah’,” tegasnya. “Amanat UU No. 17 Tahun 2022 harus kita turunkan menjadi aksi konkret di tingkat daerah. Ranperda ini adalah langkah strategis untuk mengikatkan komitmen pelestarian adat dalam bentuk hukum yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.” Dukungannya ini seperti memberikan energi tambahan, menyiratkan bahwa perjuangan ini bukan hanya milik DPRD, tetapi perjuangan seluruh komponen masyarakat adat Minangkabau.

Fokus Ranperda ini jelas dan visioner: menyelamatkan generasi penerus. Salah satu pasal kuncinya mengamanatkan integrasi nilai-nilai budaya Minangkabau ke dalam kurikulum semua lembaga pendidikan, baik formal maupun informal, mulai dari tingkat dasar hingga menengah. Ini adalah lompatan besar. Selama ini, upaya serupa seringkali hanya mengandalkan instruksi atau program temporer dari walikota atau dinas pendidikan. Dengan Perda, pelestarian budaya melalui pendidikan akan menjadi kewajiban hukum yang sistematis dan berkelanjutan, memastikan setiap anak muda Padang tidak kehilangan akar budayanya.

Namun, perjalanan menuju pengesahan tidak tanpa perdebatan halus. Ranperda ini juga menyentuh aspek yang lebih teknis dan sensitif: posisi Dubalang atau pengawal adat. Mulyadi Muslim menyoroti perlunya kejelasan. “Kita harus mendudukkan fungsi dan tupoksi dubalang kota agar tidak tumpang tindih dengan tugas Satpol PP atau mengambil peran dari dubalang nagari yang merupakan milik Ninik Mamak dan Penghulu,” paparnya. Pansus III menyarankan koreksi agar peran dubalang kota benar-benar sesuai dengan aspirasi masyarakat adat dan tidak menimbulkan dualisme kewenangan di lapangan. Apresiasi diberikan untuk inisiatif pembentukannya, namun pelaksanaannya di tingkat kecamatan dan kelurahan dinilai perlu penyesuaian agar lebih efektif.

Rapat yang dipimpin Mulyadi Muslim itu sendiri adalah sebuah simbol. Kehadiran para Ninik Mamak bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari proses “memanusiakan” hukum. Pelibatan langsung para pemilik adat ini dimaksudkan agar setiap pasal dalam Ranperda nantinya tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga menyatu dengan denyut nadi dan sistem nilai yang telah berjalan turun-temurun di tengah masyarakat.

Harapannya kini tertumpu pada proses selanjutnya. Jika disahkan, Ranperda ini akan menjadi lebih dari sekadar dokumen hukum. Ia akan menjadi penanda sejarah, sebuah komitmen kolektif Kota Padang untuk menjaga warisan yang “indak lekang dek paneh, ndak lapuak dek hujan”. Dengan dukungan penuh dari tokoh adat seperti Fauzi Bahar dan partisipasi aktif pemangku adat nagari, payung hukum ini diharapkan mampu melindungi dan menguatkan jati diri Minangkabau, membuktikan bahwa adat dapat tetap tegak berdampingan dengan sistem pemerintahan modern, menjawab tantangan zaman tanpa harus kehilangan rohnya yang paling hakiki.

Related posts