MINANGKABAUNEWS.com, PADANG– Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Politik Hukum Sumber Daya Alam Bidang Lingkungan Hidup, Perspektif Pasca UU Cipta Kerja” pada Rabu (5/2). Acara ini berlangsung di Convention Hall Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag., Kampus III Bukittinggi, dengan menghadirkan narasumber Prof. Absori, S.H., M.Hum., guru besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surakarta.
Dekan Fakultas Hukum UM Sumatera Barat, Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan harapan agar kuliah umum ini dapat memberikan inspirasi dan wawasan baru bagi mahasiswa serta civitas akademika. Ia juga menekankan pentingnya pengembangan konsep pemikiran hukum, termasuk aliran hukum profetik dan presidensial yang sedang diperkenalkan di lingkungan akademik UM Sumatera Barat.
Menurutnya, beberapa akademisi Muhammadiyah, termasuk Prof. Absori, turut mengembangkan kajian nilai travender dalam hukum, yang menyoroti isu lingkungan dan sumber daya alam dalam kurikulum pendidikan hukum. Oleh karena itu, perbincangan mengenai politik hukum di sektor pertambangan dan pengelolaan sumber daya alam menjadi isu yang sangat relevan, terutama dalam konteks UU Cipta Kerja yang menuai kontroversi.
Dinamika Regulasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam pemaparannya, Prof. Absori mengulas perjalanan regulasi sumber daya alam di Indonesia, termasuk TAP MPR No. VI/2002 yang merekomendasikan penyusunan regulasi untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam dan mencegah konflik terkait. Sayangnya, rekomendasi tersebut tidak segera ditindaklanjuti, justru diikuti dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 2004 yang dinilai lebih mengakomodasi kepentingan asing dan pemodal besar.
Lebih lanjut, Prof. Absori menyoroti bahwa lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak terlepas dari dinamika politik dan ekonomi yang bertujuan mempercepat investasi serta pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam prosesnya, aspek fundamental hukum dan perlindungan lingkungan dinilai kurang mendapatkan perhatian yang memadai.
“Tidak mengherankan jika UU Cipta Kerja mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi dan aktivis lingkungan,” jelasnya. Setelah melalui berbagai gugatan, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menyatakan UU ini inkonstitusional bersyarat pada 25 Desember 2021. MK memberikan waktu dua tahun kepada pemerintah untuk memperbaiki regulasi tersebut, dengan konsekuensi pembatalan jika perbaikan tidak dilakukan.
Namun, alih-alih melakukan revisi yang menyeluruh, pemerintah justru menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023. Kebijakan ini dinilai lebih menitikberatkan pada kemudahan investasi tanpa mempertimbangkan dampak terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup secara memadai. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah penyederhanaan prosedur perizinan usaha, yang berpotensi mengabaikan prinsip keberlanjutan lingkungan.
Implikasi Hukum dan Tantangan Penegakan Regulasi
Dalam kajian hukum lingkungan, UU No. 23 Tahun 2009 sebenarnya telah mengatur sanksi pidana berat bagi pelaku perusakan lingkungan. Kejahatan korporasi dalam eksploitasi sumber daya alam sering kali dikategorikan sebagai white-collar crime, di mana pelakunya berasal dari kalangan pengusaha besar atau institusi yang memiliki pengaruh kuat.
Namun, Prof. Absori menyoroti bahwa selama ini pendekatan hukum dalam kasus lingkungan masih bersifat ultimum remedium, yakni menjadikan sanksi pidana sebagai pilihan terakhir. Beberapa pihak mendorong perubahan paradigma menuju premium remedium, di mana penegakan hukum pidana menjadi instrumen utama dalam menanggulangi kejahatan lingkungan.
Sebagai kesimpulan, Prof. Absori menegaskan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terutama dalam aspek pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, memiliki banyak ketidaksesuaian dengan UUD 1945. Keputusan pemerintah untuk mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 dan mengesahkannya menjadi UU No. 6 Tahun 2023 didasarkan pada dalih kondisi ekonomi dan investasi, yang dinilai oleh banyak pihak sebagai kebijakan yang mengabaikan prinsip keadilan ekologis.
Acara kuliah umum ini mendapat respons antusias dari peserta, yang terdiri dari mahasiswa, dosen, serta praktisi hukum. Diskusi interaktif yang berlangsung turut membahas berbagai tantangan implementasi kebijakan serta arah masa depan hukum sumber daya alam di Indonesia. (Tia)






