Oleh: Nahdaturrahmi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
Seiring maraknya aktivitas belanja daring dan kemunculan kecerdasan buatan (AI), pertanyaan mendasar mulai mengemuka: bagaimana nasib hukum Islam di era seperti ini? Apakah fatwa-fatwa masih relevan bagi generasi yang gaya hidupnya tak jauh dari layar gawai? Bagaimana wajah syariah ikut berubah mengikuti perkembangan teknologi, e-commerce, serta AI?
Di era digital, hampir semua aspek kehidupan telah mengalami transformasi. Mulai dari berbelanja, bekerja, bahkan beribadah, semuanya kini tak lepas dari bantuan teknologi. Di tengah derasnya arus e-commerce dan kehadiran AI, hukum Islam di Indonesia pun ditantang untuk beradaptasi. Peran ulama dan lembaga fatwa mulai bergeser, karena umat kini cenderung mencari jawaban hukum melalui Google, ChatGPT, atau media sosial.
Fatwa kini menghadapi tantangan dari perspektif sosiologi hukum Islam. Syariah tidak boleh tertinggal zaman. Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi digital kerap berjalan dalam paradoks. Di satu sisi, penerapan sistem keuangan syariah yang transparan, adil, dan bebas riba terus diupayakan. Namun di sisi lain, digitalisasi ekonomi berkembang secara mandiri tanpa selalu mengindahkan prinsip-prinsip hukum Islam.
Akibatnya, masih banyak praktik ekonomi digital yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syariah. Maka muncul pertanyaan krusial: sejauh mana hukum Islam siap menghadapi dunia yang serba cepat, inovatif, dan disruptif ini?
Fenomena ini menuntut hukum Islam untuk mengambil pendekatan yang berbeda dari sekadar teks normatif. Dibutuhkan pembacaan yang lebih kontekstual dan responsif, seperti yang ditawarkan pendekatan sosiologi hukum. Dalam kerangka ini, hukum bukan hanya kumpulan aturan kaku, melainkan bagian dari proses sosial dan kultural yang terus berubah.
Jika masyarakat kini lebih sering bertransaksi melalui dompet digital daripada uang tunai, maka hukum Islam dan fatwa-fatwa juga harus bergerak seiring dengan realitas tersebut.
Dulu, hukum Islam berkembang dalam masyarakat agraris dan komunitas lokal dengan pola bisnis yang sederhana. Namun kini, realitasnya telah berubah drastis. Pertanyaan-pertanyaan baru yang tidak ditemukan dalam kitab kuning muncul akibat gaya hidup digital.
Prinsip-prinsip syariah seperti keadilan, transparansi, dan kemaslahatan tetap relevan. Namun bagaimana prinsip ini diterapkan dalam ekosistem digital yang serba instan dan dikendalikan oleh algoritma? Di sinilah fatwa digital menjadi sangat penting.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mulai merespons perkembangan ini dengan mengeluarkan fatwa tentang uang elektronik, transaksi daring, hingga investasi digital. Ini menunjukkan bahwa syariah perlahan-lahan sedang “berteman” dengan teknologi.
Kini, untuk memperoleh jawaban atas persoalan hukum, umat cukup membuka ponsel dari tempat tidur. Fatwa-fatwa tentang transaksi online, sistem pembayaran digital, dan model bisnis seperti dropship telah tersedia. Namun tantangan ke depan adalah bagaimana bisnis digital tetap sesuai prinsip halal bagi konsumen Muslim yang belum memahami konsep halal-haram dalam dunia e-commerce. Misalnya, bolehkah barang dikirim sebelum akad? Atau, bagaimana status biaya checkout?
Praktik dan regulasi pasar digital diharapkan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam. Menariknya, kini mulai banyak startup dan platform jual-beli yang menawarkan produk halal yang telah diverifikasi. Beberapa bahkan telah menggunakan AI untuk mendeteksi produk yang bermasalah secara otomatis.
Sosiologi hukum Islam membantu kita memahami bahwa hukum tidak hanya mengatur, tetapi juga merupakan hasil dari interaksi sosial. Maka, ketika umat Muslim kini aktif dalam ekosistem e-commerce, hukum Islam harus tetap hadir dan relevan dalam ruang digital tersebut.
Kecanggihan AI yang mampu mengolah data dan memberikan jawaban instan membuat fatwa seolah terpinggirkan. Padahal dalam Islam, proses pengambilan hukum memerlukan ijtihad, pemahaman sosial-kontekstual, serta nilai-nilai spiritual. Hal ini memunculkan perdebatan baru: akankah AI membantu ulama atau justru menggantikannya?
Pendekatan sosiologis mengajarkan bahwa hukum Islam adalah bagian fundamental dalam kehidupan manusia. Ketika masyarakat menjadi makin cakap secara digital, hukum Islam pun harus mampu mengikuti perkembangan zaman. AI dapat menjadi alat bantu, namun bukan pengganti peran ulama. Fatwa harus beradaptasi dalam menjawab tantangan AI dan e-commerce, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariah.
Digitalisasi bukan musuh. Justru ia adalah tantangan sekaligus peluang. Jika syariah diterapkan secara kontekstual, ia akan tetap relevan bahkan menjadi solusi dalam dunia yang kian kompleks.
Peran ulama, akademisi, dan generasi muda sangat krusial untuk membawa syariah ke masa depan yang lebih adaptif, responsif, dan inklusif. Pada akhirnya, syariah bukan semata-mata tentang hukum, tetapi tentang bagaimana manusia menjalani kehidupan sesuai nilai-nilai Islam.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia tak bisa menghindari kenyataan bahwa fatwa, AI, dan e-commerce telah menjadi bagian dari kehidupan umat. MUI memiliki peran strategis dalam menerbitkan fatwa-fatwa yang mampu menjawab persoalan kontemporer secara tepat dan cepat.
Teknologi mendorong fatwa untuk bergerak lebih adaptif. Isu-isu seperti kripto, paylater, pinjaman online, hingga transaksi berbasis blockchain menjadi tantangan baru yang harus dijawab oleh syariah. Fatwa kini dituntut untuk tidak hanya menjawab masalah klasik, tetapi juga persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. (*)




