Oleh: Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa
Semua bereaksi karena jumlah perceraian yang sangat tinggi di Sumbar, diberitakan oleh beberapa media. Saya masih ingat pada suatu pagi tahun 2016 sebelum dikukuhkan menjadi Ketum MUI Sumbar di Istana Gubernur, inilah persoalan pertama yang saya sampaikan kepada Pemda Sumbar untuk segera dibenahi dan diantisipasi.
Kita tidak boleh berhenti melihat pada batas kasus perceraian atau bubarnya rumah tangga tapi harus bisa memprediksikan dampak yang akan timbul di masa mendatang.
Rumah tangga adalah batu bata susunan kemasyarakatan. Bila satu persatu telah rapuh maka akan roboh lah bangunan kemasyarakatan tersebut.
Kelemahan yang mendasar adalah tidak utuhnya deskripsi masalah sehingga tidak terdeteksi secara utuh faktor penyebab rapuhnya rumah tangga di Sumbar. Coba perhatikan beberapa analisa asal-asalan yang dahulu pernah keluar. Karena dominasi wanita dalam adat lah, karena fungsi urang sumando lah, karena kemandirian wanita Minang lah, dan lainnya yang tak sambung menyambung.
Situasi seperti itu berketeruan tanpa solusi dan semakin diperparah oleh minimnya koordinasi antara pemegang kebijakan. Semua merasa paling menentukan dan ujung dari semuanya adalah “anggarannya saya yang pegang”.
Cerita tentang peran “alim ulama, niniak mamak dan bundo kanduang” hanyalah cerita “hambuih-hambuih” karena mereka hanya disodorkan masalah yang sudah terjadi. Untuk membina cikal bakal rumah tangga, mereka tidak diberi ruang. Lapangan kehidupan tidak lagi menjadi madrasah pembinaan kedewasaan untuk calon suami isteri. Peran tokoh masyarakat bahkan orang tua sekalipun, hanya dalam seminar parenting dan rapat koordinasi.
Kondisi kita sebenarnya disadari atau tidak, telah terjebak dalam sikap individualisme yang sangat parah. Pendidikan telah menjadi monopoli lembaga formal. Anak-anak remaja tidak dibawa hidup dalam dunia nyata tapi melanglangbuana di dunia maya. Mereka tidak ditempa oleh pelajaran kehidupan sehingga rapuh dan mudah galau bila berhadapan dengan tantangan.
Kedewasaan fisik generasi muda, lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan kedewasaan mental mereka. Rasa tanggung jawab yang mestinya juga tumbuh beriring dengan kedewasaan umur, tertinggal oleh cepatnya godaan seksual yang dipancing oleh berbagai faktor. Pendidikan tidak lagi menyodorkan solusi keterlambatan pertumbuhan mental tersebut. Bertumpu kepada surau, itu hanya bertemu dalam visi dan misi calon pejabat. Pendidikan formal hampir tidak memberi ruang waktu kepada para remaja untuk bertemu ulama mereka. Kalau mau bukti ? Silahkan lihat perkembangan didikan shubuh dan kajian remaja dimana-mana !
Tak perlu lagi menuduh bahwa kajian surau tidak inovatif dan buya-buyanya tidak komunikatif atau apapun analisa ahli edukatif yang tak memahami betapa rumitnya membina umat. Perlu diingat bahwa pembinaan itu bukan hanya ceramah ! Karena itu, surau tak akan tergantikan oleh media seperti youtube.
Supaya jangan berpanjang-panjang saya mengemukakan akar permasalahan, saya ingin mengatakan bahwa selama ini “kita bagaikan menjernihkan air di muara sedangkan hulunya dibiarkan saja keruh berlunau”. Kalau memang kita sebenar risau, mari kita berikan masing-masing pihak kembali berperan dalam membentuk masyarakat Minangkabau yang kokoh. Akar masalahnya adalah kedewasaan unsur rumah tangga yang tidak matang sehingga faktor-faktor lain mudah menumpang menjadi penyebab perceraian. Wallâhu a’lam.
/*Penulis adalah seorang Ketum MUI Sumbar dan penggagas dan pelaku gerakan Ulama Baliak Basurau