MINANGKABAUNEWS.COM, PADANG — Bencana alam menjadi ancaman yang serius di Sumatera Barat (Sumbar), terlebih lagi secara geografis letaknya di kelilingi garis pantai, perbukitan, dan pegunungan.
Terkait kerawanan itu, semua pihak diminta wajib secara sadar berperan aktif atau lebih peduli dalam pencegahan dan penanganan. Apalagi, bencana alam bukan urusan kelompok tertentu, tapi urusan bersama.
Kerawan bencana ini dibahas dalam pertemuan Kalaksa BPBD Sumbar, dengan penggiat Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Sumbar, pada Sabtu (5/2) sore hingga malam di Kota Padang.
“Pencegahan dan penanggulangan bencana ini tidak bisa dilakukan satu pihak, pentahelix harus dikuatkan,” kata Kalaksa BPBD Sumbar, Jumaidi usai mendengar beragam masukan dari FPRB.
Dia berpendapat, penguatan pentahelix ini penting, sebab dalam kebencanaan bukan hanya dituntut peran pemerintah, tapi juga masyarakat, dunia usaha, akademisi, pakar, hingga media massa.
“Jangan sampai, banjir dikit yang ditunjuk hanya BPBD padahal skalanya kecamatan, bencana dikit tunjuk mengarah ke BNPB. Kita semua harus punya peran,” sebutnya.
Menurutnya, pentahelix ini merupakan perwujudan budaya gotong-royong yang mengakar di Tanah Air sejak dulu. Artinya, dalam kebencanaan melibatkan semua pihak, baik sebelum, saat terjadi, dan sesudah bencana.
Apalagi, akunya, Sumbar sudah memiliki budaya lokal yang mengakar, yakni tungku tigo sajarangan. Sinergisitas niniak mamak, ulama, cadiak pandai, akan menjadi kekuatan dalam pencegahan dan penanganan bencana.
“Peran pentahelix ini, bisa disesuaikan dengan daerah masing-masing, baik saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana,” ujarnya.
Dengan alasan itu pula, lanjut Jumaidi, pihaknya berupaya akan terus merangkul organisasi pemerintah daerah (OPD) terkait dalam kegiatan kebencanaan. Terutama dalam meningkatkan mitigasi bencana.
“Kita akan koordinasi dengan OPD lainnya, baik PU, BSDA, DLH, Dishut, Dinsos, PMI, Basarnas, TPHP, Disdik, ahli, LSM, dan stake holder lainnya,” jelas Jumaidi.
Mantan Kadinsos Sumbar ini pun mengapresiasi pertemuan dengan FPRB Sumbar. Apalagi di dalamnya terdapat pihak dengan berbagai latar belakang profesi, dan peduli terhadap kebencanaan di Sumbar.
Kendati begitu, Jumaidi mengharapkan FPRB bukan hanya mengajukan banyak program tahunan, namum minim capaian dan perubahan. Dia justru menginginkan penelitian atau kajian panjang 5 tahun ke depan dari FPRB.
“Jangan jangka pendek, saya justru berharap ada kajian penelitian untuk 5 tahun ke depan,” tekannya.
Sementara sebelumnya, belasan pihak FPRB Sumbar telah memberikan masukan, kritikan, hingga pemaparan atas rawannya bencana di Sumbar. Apalagi, selama dua tahun terakhir mitigasi bencana alam ini seolah luput dari perbincangan.
“Ya, hampir dua tahun kita seolah-olah lupa dengan ancaman bencana alam, kita sibuk dengan COVID-19. Padahal Sumbar rawan bencana alam ini,” jelas Koordinator Umum FPRB Sumbar, Hidayatul Irwan.
Begitu pula yang diungkapkan akademisi Universitas Andalas, Badrul Mustafa yang juga hadir saat itu. Ancaman bencana alam di Sumbar masih menghantui dan harus diwaspadai, baik dari laut, darat, hingga gunung berapi.
Ancaman itu, sebut Badrul, yakni megathrust Mentawai, kendati memang tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Lalu, ancaman patahan Semangko, serta segmen sesar di Sumbar, seperti segmen sumpur, segmen sianok, segmen sumani, dan segmen suliti.
“Kita juga ada gunung aktif, Marapi, Talang, Tandikek. Semua ancaman ini harus kita waspadai, jangan informasi kita jadikan sebuah ketakutan, tapi jadikan informasi ini agar kita selalu mawas diri,” tukasnya.
Dalam pertemuan Kalaksa BPBD Sumbar, dengan FPRB Sumbar, serta LSM peduli bencana itu, Badrul mengingatkan, bahwa bencana pasti ada dan tak dapat ditolak, namun risiko bisa diminimalisir dengan beragam bentuk mitigasi bencana. (*)