MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Sebuah pameran etnofotografi mengajak masyarakat Sumatera Barat menelusuri kembali akar spiritualitas yang nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuk modernisasi. Gubernur Mahyeldi Ansharullah membuka pameran bertajuk “Islam di Minangkabau: Surau dan Ritus di Sumatera Barat” di Galeri Taman Budaya Sumbar, Jumat pekan lalu.
Pameran karya seniman dan budayawan Edi Utama ini bukan sekadar pajangan foto atau benda-benda kuno. Ia adalah ruang pertemuan antara masa lalu dan masa kini—antara nilai luhur leluhur dengan kesadaran generasi pewaris budaya.
Naskah kuno, pakaian adat, perlengkapan ibadah, dan simbol-simbol keagamaan tersusun rapi di galeri. Semuanya menceritakan perjalanan panjang Islam di Minangkabau—Islam yang bukan datang untuk menggantikan adat, melainkan menyempurnakannya.
“Pameran ini adalah ruang untuk merenung. Memahami dari mana kita berasal, nilai apa yang kita warisi, dan ke mana arah peradaban ini akan kita bawa,” ujar Mahyeldi yang didampingi Asisten Administrasi Umum Medi Iswandi, Kepala Dinas Kebudayaan Jefrinal Arifin, serta sejumlah profesor dan budayawan.
Gubernur berharap warisan adat dan syarak tidak sekadar menjadi kenangan masa lalu, tetapi hadir sebagai kekuatan moral, spiritual, dan budaya yang menuntun pembangunan Sumatera Barat.
**Air Keruh di Muara, Masalahnya di Hulu**
Edi Utama, penggagas dan kurator utama pameran, menyampaikan analogi menarik tentang kondisi kebudayaan Minangkabau saat ini. Ia mengibaratkan kebudayaan seperti sungai yang memiliki hulu dan muara.
“Kita sekarang terlalu sibuk mengurus muara—memperkenalkan kebudayaan ke luar. Tapi lupa menjaga hulunya. Padahal kalau air di muara keruh, masalahnya pasti di hulu,” katanya.
Menurutnya, masyarakat Minangkabau terlalu fokus pada diplomasi budaya—menampilkan kebudayaan kepada orang luar—tapi melupakan ketahanan budaya itu sendiri. “Kita sering membuat sesuatu untuk orang lain, tapi lupa menjaga kebudayaan itu sendiri. Padahal esensi kebudayaan adalah hidup di dalam diri kita.”
Edi juga menyoroti distorsi pemahaman terhadap warisan budaya, termasuk filosofi silat. “Silat itu bukan soal pertarungan, tapi jalan hidup. Benteng untuk mempertahankan kebudayaan,” ujarnya.
Ia berharap Dinas Kebudayaan ke depan bisa mendorong strategi kebudayaan yang seimbang: menjaga hulu sebagai bentuk ketahanan budaya dan mengelola muara sebagai bentuk diplomasi budaya.
**Islam yang Hidup, Bukan yang Mati**
Ketua panitia Muhammad Taufik mengapresiasi pendekatan Edi Utama yang berhasil memotret “Islam yang hidup” di Minangkabau. Awalnya ia berpikir judul pameran seharusnya “Islam Minangkabau”, bukan “Islam di Minangkabau”. Namun setelah melihat hasilnya, ia memahami maksud kurator.
“Bung Edi tidak hanya menampilkan foto, tapi menghadirkan perjalanan spiritual yang hidup,” kata Taufik.
Pameran ini menggambarkan bagaimana Islam dan budaya Minangkabau berdialog secara harmonis—saling menghidupi, bukan saling meniadakan. “Nilai-nilai Islam dan adat tidak saling membunuh, tetapi saling memperkaya. Hukum adat di Minangkabau itu untuk menghidupkan, bukan mematikan.”
Menurut Taufik, karya Edi Utama adalah bentuk *Living Islam*—Islam yang tumbuh dan berinteraksi dengan masyarakat. “Beliau tidak berdakwah lewat mimbar, tapi lewat karya. Datang ke nagari-nagari, merekam kehidupan, dan menunjukkan bahwa Islam masih hidup di Ranah Minang.”
Mahyeldi menutup pembukaan dengan memberikan apresiasi tinggi kepada Edi Utama yang dinilainya berhasil “membangunkan kembali memori kultural dan spiritual masyarakat Minangkabau.”
Pameran ini diharapkan mampu menginspirasi generasi muda untuk kembali menjaga nilai-nilai luhur yang menjadi identitas Minangkabau—sebelum air di muara benar-benar keruh dan tak bisa dijernihkan lagi.






