Guru Jadi “Tumbal” Program Makan Bergizi

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE– Pagi itu Andrimar, seorang guru SMP di Kabupaten Rokan Hulu, mengetik pesan panjang di ponsel pintarnya. Kalimatnya tajam, getir, dan penuh kekecewaan. Ia menuliskan kegelisahannya bukan sebagai pengurus organisasi guru, bukan pula sebagai pejabat sekolah, melainkan sebagai seorang pendidik yang sehari-hari berhadapan langsung dengan murid, rantang makanan, dan serentetan beban tambahan di luar tugas mengajarnya.

“Selamat pagi, Pak Prabowo, saya ingin bicara atas nama pribadi,” tulisnya membuka pesan.

Bagi Andrimar, program Makan Bergizi (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebenarnya berangkat dari niat mulia: memastikan setiap anak sekolah mendapatkan asupan makanan yang sehat. Namun di balik jargon mulia itu, ia menemukan realitas yang jauh berbeda.

Dari “Gratis” Jadi “Bergizi”
Program yang semula dikenal luas sebagai Makan Siang Gratis kini berganti nama menjadi Makan Bergizi.

Pemerintah mengklaim telah merekrut lebih dari 290 ribu tenaga kerja untuk menyukseskannya. Dana yang dipakai tidak main-main: sekitar 44 persen dari anggaran pendidikan, yang sejatinya bersumber dari 20 persen APBN.

Bagi Andrimar, di sinilah letak ironi itu bermula. Uang yang seharusnya menopang peningkatan kualitas pendidikan—mulai dari kesejahteraan guru, fasilitas belajar, hingga pengembangan profesionalisme—malah dialihkan untuk program konsumsi massal yang ia nilai penuh masalah.
“Pak, dari sekian banyak tenaga kerja yang bapak angkat, kami para guru justru jadi budak dalam program ini,” tulisnya lagi.

Guru, Rantang, dan Risiko
Cerita Andrimar bukan satu-satunya. Di banyak sekolah, guru ditugasi membagikan makanan ke siswa, mengumpulkan kembali rantang kosong, menghitung jumlahnya, lalu mengembalikannya kepada pemasok. Semua itu dilakukan tanpa honor tambahan. Ironisnya, jika ada rantang yang hilang, justru guru pula yang harus menggantinya dengan uang pribadi.

Tak berhenti di situ. Beberapa kepala daerah bahkan mengeluarkan instruksi agar guru mencicipi makanan MBG sebelum dibagikan. Alasannya, untuk memastikan keamanan. Namun di mata Andrimar, aturan itu terasa merendahkan: “Jadi kami guru ini dijadikan apa? Tumbal racun? Tikus laboratorium?”

Anak-anak Menolak, Guru Merayu
Problem lain muncul dari penerima utama program ini: para murid. Banyak anak menolak menu MBG yang menurut mereka hambar. Tak ada cabai, tak bersantan, tak berasa. Di beberapa kelas, makanan itu dibiarkan tersisa, tak tersentuh. Guru kembali harus turun tangan: membujuk, merayu, bahkan terkadang memaksa agar murid mau menelan hidangan yang “katanya bergizi” itu.
“Bertambah lagi kerja kami,” keluh Andrimar, “memujuk anak-anak agar mau makan dengan berbagai macam kilah dan rayu.”

Antara Idealisme dan Politik
Di mata banyak pengamat, program MBG memang sarat muatan politik. Slogan makan siang gratis menjadi salah satu janji kampanye paling populer. Kini setelah dijalankan, banyak pihak mempertanyakan efektivitasnya, terutama jika dana pendidikan yang sudah terbatas justru terkuras untuk logistik konsumsi.

Kecurigaan Andrimar pun mengarah ke hal itu. “Saya khawatir nasinya, sayurnya, ikannya, nyangkut di kantong-kantong rekanan bapak,” tulisnya getir. “Nanti kantong mereka bau, dan beraroma tikus pula.”

Pesan dari Seorang Guru
Pesan Andrimar bukan sekadar keluhan personal. Ia menggambarkan kegelisahan banyak guru yang merasa keberatan dipaksa menjalankan peran di luar tugas pokok mengajar. Ia menutup suratnya dengan saran sederhana namun tajam:
“Perbaiki saja ekonomi negara ini. Sejahterakan masyarakat. Maka makan harian anak-anak mereka akan terpenuhi, tak perlu bapak yang menyediakan.”
Suara seorang guru di pelosok Sumatera itu kini bergaung di jagat maya. Entah sampai atau tidak ke meja Presiden, tapi yang jelas ia sudah mewakili banyak suara senyap di ruang kelas: suara guru yang setiap hari berjibaku, bukan hanya dengan murid dan buku pelajaran, tapi juga dengan rantang-rantang makan bergizi yang tak selalu bergizi.

Related posts