Gusra Farnita guru SDN 16 VII Koto Sungai Sarik Kabupaten Padang Pariaman berhasil meraih juara satu Lomba Menulis Surat Bagi Guru dan Siswa se-Sumatera Barat kategori guru. Lomba Menulis Surat diselenggarakan DPD SatuPena Sumatera Barat yang difasilitasi Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumbar melalui Pokir Anggota DPRD Sumbar Albert Hendra Lukman dan didukung Dinas Pendidikan Sumbar. Presentasi dan pengumuman pemenang Kamis (21/8/2025) sore di lantai 4 Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumbar Jalan Diponegoro Padang.
Gusra Farnita meraih nilai 1.251, disusul juara dua Kusdar Yuni, S.Pd (SMKN 1 Padang Panjang) dengan nilai 1.234 dan , juara tiga Addurorul Muntatsiroh, M.Pd (SMKN 4 Sijunjung) dengan nilai 1.200. Lima juara harapan masing-masing Fredrik Tirtosurya Esoputra (SMKN 2 Padangpanjang), Erlinaweti, M.Pd (SMAN 1 Sungai Limau Padang Pariaman), Liberlina, S.Pd (SMKN 1 Solok Selatan), Dra. Lifya (SLBN 1 Padang) dan Dwi Utari Kusuma, S.Pd (SMKN 1 Sutera Pesisir Selatan).
Gusra satu-satunya guru SD yang lolos 25 nomine kategori dalam lomba ini. “Alhamdulillah, saya sangat terharu. Jangankan untuk juara satu, lolos nomine 25 peserta saja sudah luar biasa. Saya butuh waktu 20 hari untuk menyelesaikan surat ini. Saat akan menulis seakan berat mengisahkan perjalanan yang sudah dilalui meraih prestasi nasonal itu. Bersyukur, ternyata perjuangan itu memberikan hasil terbaik,” tutur Gusra usai menerima hadiah laptop diserahkan langsung Bunda Literasi Provinsi Sumatera Barat Harneli Bahar. Gusra terlihat mengeluarkan air mata saking terharu dan menyampaikan terima kasih pada dewan juri.
Gusra Farnita, perempuan yang lahir di Padang Pariaman, 18 Agustus 1985. Anak ke 5 dari 6 bersaudara, dari pasangan Tando dan Rabiáh. Akrab disapa Amigusra. Tamatan S.1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Bahasa Indonesia dan Daerah Konsentrasi Budaya Alam Minangkabau Universitas Negeri Padang. Mengajar di SDN 16 VII Koto Sungai Sarik Kabupaten Padang Pariaman. Selain hobi membaca dan menulis, aktif mengelola taman baca si-Pintar di samping rumahnya, yang teletak di Nagari Lareh Nan Panjang Sungai Sariak Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Gusra Farnita juga Ketua Forum Literasi Kabupaten Padang Pariaman, tergabung dalam forum Bundo Kanduang sebagai ketua bagian hukum adat dan pendidikan. Aktif memberikan materi terkait budaya Minangkabau baik di lingkungan formal maupun informal.
Gusra Farnita menulis surat berjudul “Mimpi Anak Pelosok Negeri Menggapai Langit”, merupakan kisahnya dengan murid sendiri hingga meraih juara di tingkat nasional.
Pertama kali menapakkan kaki di sekolah kecil, terletak di antara bukit dan pepohonan, jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari semua kenyamanan yang biasa kenalnya.
“Mengapa aku harus mengajar di tempat terpencil seperti ini?”
Dirinya belum benar-benar siap, menyaksikan ruang kelas dengan papan tulis yang sudah rusak, perlengkapan belajar yang serba terbatas, melihat anak-anak yang datang dengan seragam seadanya, bahkan kadang tanpa membawa buku. Sempat diliputi keraguan.
“Bisakah mereka memahami pelajaran? Apakah mereka memiliki semangat untuk belajar?” Namun waktu terus berjalan.
Setiap harinya, kehadiran seorang anak yang sederhana namun penuh semangat pelan-pelan mengubah pandangannya. Anak itu datang lebih awal dari yang lain, duduk dengan serius, menulis dengan tekun, dan tidak pernah mengeluh meski pulang harus melewati hujan atau teriknya matahari. Darinya, Gusra belajar esensi pendidikan bukan terletak pada tempatnya tetapi pada kemauan untuk terus berusaha. Gusra merasa malu karena pernah memandang rendah keadaan. Setelah waktu berjalan begitu jauh, justru bersyukur pernah ditugaskan di tempat terpencil. Gusra benar-benar belajar apa arti menjadi seorang pendidik sejati, bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga tumbuh bersama murid-muridnya.
Anak itu, yang tidak pernah banyak bicara, tapi semangatnya bersuara lebih lantang dari siapa pun. Saat lomba diumumkan, kamu berkata, “Bu, bolehkah saya mencoba?”
Dari situlah segalanya dimulai. Gusra dengan sang anak itu, belajar bersama di ruang kelas yang panas dan sempit. Terkadang listrik padam, papan tulis rapuh, bahkan alat bantu belajar seadanya. Tapi tak ada keluhan darimu. Yang ada hanyalah semangat untuk terus belajar, berlatih, dan mencoba. Setiap sore kita bertahan, meski hujan, meski lapar. Kadang Ibu merasa ragu,
“Apakah kita bisa?”
Tapi setiap kali Ibu hampir menyerah, kamu berkata, “Bu, saya percaya.”
Dari kepercayaanmu itulah, Ibu menemukan kembali keyakinan sendiri. Tulis Gusra dalam suratnya.
Ternyata Gusra betapa bangganya. Bukan hanya karena menjadi juara nasional, bukan hanya karena diundang ke Jakarta dan naik pesawat untuk pertama kalinya. Tapi tetap menjadi yang dulu sederhana, gigih, dan rendah hati. Saat pengumuman juara namamu disebut sebagai “Juara Menulis Cerita” mewakili Sumatera Barat tingkat Sekolah Dasar, Gusra menangis.
Bukan karena tak percaya, tapi karena semua perjuangan lelah, sabar, tawa, dan air mata akhirnya terbayar. Saat tahu akan naik pesawat ke Jakarta, hatinya bergetar. Anakku yang dulu belajar menulis di papan tulis reot, kini terbang tinggi menuju ibu kota.
Perjalanan naik pesawat mungkin hanya butuh waktu satu setengah jam. Tetapi perjalanan menuju mimpi itu butuh keberanian bertahun-tahun. Menempuhnya dengan luar biasa. Lebih dari sekadar piala dan piagam, bukti bahwa mimpi anak dari sekolah terpencil pun bisa bersuara lantang di panggung besar. Bukan hanya membawa nama sekolah, kamu membawa cerita. Cerita tentang semangat, tentang keberanian, tentang guru dan murid yang menolak tunduk pada keterbatasan.
Kamu bukan hanya membanggakan Ibu, sekolah, tapi membanggakan seluruh anak nagari di kampung ini. Orang-orang menyebut namamu dengan senyum. Anak-anak kecil mulai bermimpi menjadi sepertimu. Namamu disebut-sebut di koran, di berita, di tanah rantau, bahkan para pejabat negeri. Semua tahu kamu juara tingkat nasional. Sekolah kita dikunjungi orang-orang penting, gurumu mulai dilirik, sekolah reot ini mulai berbenah. Lebih dari itu, kamu menerima penghargaan langsung dari pemerintah sebuah pencapaian luar biasa untuk anak yang dulu belajar dengan papan tulis usang dan buku bekas di kelas kita yang sederhana.
Masih ingat, Nak? Dulu hanya punya mimpi dan tekad. Di sekolah terpencil tak ada pendingin ruangan, tak ada laboratorium lengkap, bahkan sinyal pun sering menghilang. Tetapi setiap kali kamu berkata,“Bu, saya mau belajar lebih.”
Kita belajar sampai larut sore, kadang dengan pelita, kadang dengan doa. Di saat orang lain mengandalkan fasilitas, kamu mengandalkan kegigihan. Di ruangan sederhana ilmu tumbuh, karakter dibentuk, dan mimpi disemai. Semesta menjawab kerja keras itu. Saat kamu berdiri di atas podium, mengharumkan nama provinsi kita, air mata Ibu jatuh, bukan semata karena kamu berhasil sampai ke sana, tapi karena kamu telah membuktikan bahwa perjuangan sunyi dari sekolah kecil ini tidak sia-sia. Kamu tidak hanya mewakili sekolah, bukan sekadar membawa nama desa, tetapi kamu hadir sebagai simbol harapan bagi anak-anak Indonesia, bahwa siapa pun bisa bermimpi dan mewujudkannya. Meskipun berasal dari tempat yang nyaris tak pernah disebut dalam peta. Ibu akan selalu ada untukmu sebagai guru, sebagai teman di jalan belajar dan sebagai seseorang yang akan terus menyebut namamu dalam setiap doa. Dengan kasih yang tak akan pernah hilang oleh waktu.
Dalam presentasi surat Kamis (21/8/2025) Gusra mengisahkan sembari terlihat terisak dan sangat terharu mengenang perjuangannya, meski sudah dinyatakan diundang ke Jakarta meraih prestasi, dirinya dan sang murid tidak punya biaya dalam perjalanan ke Jakarta. Pihak terkait terkesan lepas tangan dan saling lempar tangan. Gusra tak hilang akal, tak mau kalah dengan semangat muridnya dan tak mau gagal hanya gara-gara ketiadaan biaya berangkat. Dengan berbagai cara, dukungan donasi masyarakat yang simpati, LSM yang peduli, dan bantuan beberapa perantau di Jakarta, akhirnya Gusra dan muridnya berhasil ke Jakarta meraih prestasi dan penghargaan tingkat nasional.
Gusra membuktikan, sentuhan dan semangat guru kepada siswanya, mampu mengantarkan siswa berprestasi nasional, sekalipun dari sekolah terpencil, reot, dan fasilitas terbatas. Selamat Gusra Farnita.






