MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE –Di sebuah siang yang gerah di Padang, Jumat 19 September 2025, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa duduk sambil memandangi lembaran hasil laboratorium dari Shanghai, Cina. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat itu tampak gelisah. “Ini bukan sekadar kasus teknis,” katanya lirih tapi tegas. “Kita sedang melihat bahaya besar: halal administrasi.”
Bom Waktu di Balik Ompreng
Kisahnya bermula dari sebuah wadah makanan sederhana: ompreng plastik program Makan Bergizi Gratis (MBG). Jutaan siswa sekolah di Indonesia memakainya setiap hari, tanpa curiga. Namun, hasil uji laboratorium di Shanghai Weipu Testing Technology Group mengejutkan semua orang: ada jejak lemak babi olahan dalam minyak yang dipakai memproduksi ompreng itu.
Uji dilakukan dengan tiga metode sekaligus—Fourier Transform Infrared Spectrometer (FTIR), Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS), dan Nuclear Magnetic Resonance Spectrometer (NMR)—untuk memastikan akurasi. Hasilnya konsisten: minyak babi memang ada.
Pemerintah yang Bertele-tele
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bergerak cepat melakukan uji tandingan. Namun publik kecewa. Hasilnya tak kunjung diumumkan. BPOM beralasan, pengumuman baru akan disampaikan bersama Badan Gizi Nasional (BGN), Kantor Komunikasi Kepresidenan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sikap birokratis itu memicu kecurigaan. Alih-alih menenangkan, pemerintah justru dianggap mempermainkan kepercayaan publik.
Halal Administrasi
Bagi Buya Gusrizal, kasus ini memperlihatkan kelemahan mendasar: sistem halal Indonesia kerap terjebak dalam formalitas dokumen dan label. “Kalau yang dipakai hanya halal administrasi, tanpa pengawasan substansi, umat bisa terjerumus. Sertifikasi halal jangan jadi stempel belaka,” ujarnya.
Baginya, prinsip halalan thayyiban tak bisa direduksi jadi sekadar logo di kemasan. Halal bukan hanya administrasi, tapi proses menyeluruh dari hulu ke hilir: bahan baku, pabrik, distribusi. “Umat Islam berhak tahu dengan jelas. Bukan sekadar diberi janji akan diumumkan nanti,” katanya. “Kasus ini membuktikan kita masih lemah di hulu.”
Krisis Kepercayaan Umat
Di warung-warung kopi hingga grup WhatsApp orang tua murid, percakapan soal ompreng MBG tak pernah reda. Ada yang marah, ada yang resah, ada pula yang sinis. “Kalau wadah makanan anak-anak sekolah saja bisa begitu, apalagi yang lain?” begitu komentar seorang ayah di Padang Panjang.
Pertanyaan publik semakin tajam: apakah sertifikat halal selama ini sungguh menjamin, atau hanya formalitas bisnis?
Peringatan Keras
Buya Gusrizal menutup pernyataannya dengan kalimat yang terdengar seperti vonis: “Kalau tidak segera dibenahi, umat akan terjebak dalam produk yang hanya halal di kertas, tapi syubhat bahkan haram di kenyataan.”
Kata-kata itu seolah mengetuk pintu kesadaran. Kasus ompreng MBG bukan sekadar skandal plastik berminyak babi. Ia adalah alarm keras bagi sistem halal Indonesia—apakah masih bisa dipercaya, atau sekadar lembaran kertas dengan cap resmi.






