Hukum Waris Islam vs Pusako Tinggi Minangkabau: Mengurai Pertemuan Syariah dan Adat

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI — Ketua Umum MUI Sumatra Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, mengungkapkan tantangan harmonisasi hukum waris Islam dengan adat Minangkabau dalam kajian tadabbur Al-Qur’an. Menurutnya, meski Al-Qur’an telah mengatur secara rinci pembagian waris melalui ayat-ayat mufassal dalam Surah An-Nisa, implementasinya di Ranah Minang perlu pendekatan khusus menyikapi eksistensi harta pusaka tinggi.

Surah An-Nisa ayat 11-12 dan 176 memang memuat ketentuan terperinci tentang pembagian hak waris untuk anak, orang tua, dan kerabat. Namun, Buya Dr. Gazahar menegaskan bahwa ayat-ayat ini fokus pada aspek *al-waris* (ahli waris), sementara persoalan di Minangkabau justru terletak pada definisi al-mawruts (harta warisan). “Harta pusaka tinggi bersifat komunal, diwariskan turun-temurun dalam kaum. Datuk pun tak bisa menjualnya tanpa kesepakatan ninik mamak. Lalu, bagaimana mungkin dikategorikan sebagai harta peninggalan individu?” ujarnya.

Dalam fikih Islam, kewarisan sah jika memenuhi tiga rukun: pewaris (al-muwarris), ahli waris (al-waris), dan harta waris (al-mawruts). Buya Gazahar menjelaskan bahwa harta pusaka tinggi tidak memenuhi kriteria al-mawruts syar’i karena bukan milik pribadi. “Ketundukan pada Al-Qur’an harus komprehensif, termasuk memahami syarat harta yang boleh dibagi. Bukan hanya memaksakan pembagian tanpa melihat hakikat kepemilikan,” tegasnya.

Buya Gazahar menyoroti maraknya konten medsos yang menuduh adat Minang bertentangan dengan syariah hanya karena perbedaan mekanisme waris. “Mereka mengabaikan fakta bahwa harta pusaka tinggi bukan milik individu. Ini bukan soal menolak ayat, tapi memahami konteks kepemilikan,” paparnya. Ia mengajak masyarakat berdiskusi langsung di surau, bukan memperuncing perdebatan di ruang digital yang rawan misinterpretasi.

Surah An-Nisa mengamanatkan penyelesaian wasiat dan utang sebelum pembagian waris. Namun, Buya Gazahar mengingatkan bahwa wasiat dalam Islam dibatasi sepertiga harta—ketentuan yang justru bersumber dari hadis, bukan ayat. “Inilah bukti bahwa ilmu waris tak bisa dipelajari instan. Butuh kedalaman untuk menghindari fatwa ceroboh,” tegasnya.

Buya Gazahar menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam menerapkan syariah. “Ilmu waris itu kompleks. Medsos harus jadi ruang edukasi, bukan ajang saling menyalahkan,” tuturnya. Menurutnya, sinergi antara ulama, ninik mamak, dan ahli waris kunci menyelesaikan polemik turun-temurun ini.

Related posts