MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Penangkapan 42 pelaku tambang ilegal di Sumatera Barat sepanjang Januari hingga Juli 2025 oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumbar menuai tanggapan kritis dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Organisasi ini menilai penegakan hukum tidak boleh berhenti pada operator lapangan semata, melainkan harus menyasar aktor intelektual dan pemodal besar di balik operasi tambang ilegal.
Rahmat Hanafi, Direktur Kerja Sama dan Kemitraan Strategis DPP IMM, mengatakan bahwa langkah penegakan hukum akan sia-sia jika hanya menjerat pekerja tambang atau operator alat berat.
“Penindakan harus menyasar ke akar persoalan. Siapa penyandang dana? Siapa pemilik modal yang memainkan peran di balik layar tambang ilegal yang terstruktur dan sistematis ini?” ujar Hanafi dalam pernyataannya, Rabu (16/7).
IMM menilai bahwa tambang ilegal di Sumbar telah lama menjadi ruang gelap yang melibatkan jejaring kekuasaan, oknum aparat, dan kepentingan bisnis yang tidak transparan. Penanganan setengah hati, lanjut Hanafi, hanya akan melanggengkan siklus pembiaran dan ketimpangan hukum.
IMM juga menyoroti lambannya proses legalisasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang telah diajukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sejak Maret dan Juni 2025. Hingga kini, pengesahan dari Kementerian ESDM belum juga turun.
“Pemerintah pusat dan daerah harus lebih serius dalam menyelesaikan penetapan WPR. Tanpa kejelasan hukum, rakyat kecil terus menjadi korban kriminalisasi. Negara harus hadir memberi kepastian agar masyarakat bisa menambang secara sah,” tegas Hanafi.
Padahal, menurut catatan IMM, Sumbar memiliki potensi mineral dan batubara (minerba) yang cukup besar, dengan estimasi luas wilayah mencapai lebih dari 18 ribu hektare di sembilan kabupaten dan kota. Namun, tanpa tata kelola dan legalitas yang jelas, aktivitas pertambangan rawan dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu.
IMM mengeluarkan lima seruan penting sebagai bagian dari langkah advokasi dan dorongan pengawasan publik:
pertama, Usut tuntas pelaku tambang ilegal hingga ke aktor intelektual dan pemodal besar.
Kedua, Desak Kementerian ESDM percepat legalisasi WPR agar masyarakat tidak terus jadi korban kriminalisasi.
Ketiga,Dorong kolaborasi pengawasan masyarakat dan mahasiswa terhadap aktivitas pertambangan di daerah.
Keempat, Pastikan proses hukum berjalan adil, tanpa tebang pilih, termasuk jika melibatkan oknum aparat atau pejabat.
Kelima, Melakukan evaluasi lingkungan hidup atas wilayah yang rusak akibat aktivitas PETI (Penambangan Tanpa Izin).
IMM menegaskan, tambang ilegal bukan hanya menciptakan kerugian negara, tetapi juga merusak keseimbangan ekosistem dan mengancam kehidupan masyarakat di sekitar lokasi tambang.
“Penegakan hukum yang abai pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis hanyalah formalitas belaka. Negara semestinya hadir melindungi rakyat dan lingkungan, bukan sekadar menjaga citra,” tutup Hanafi.






