MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan hakim konstitusi Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi atas putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Kasus ini bermula saat Saldi menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) terkait putusan syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) berusia paling rendah 40 tahun.
Salah satu anggota MKMK Wahiduddin Adams menjelaskan, Saldi tidak dapat dikatakan melanggar kode etik terkait perbedaan pendapat dengan hakim konstitusi lainnya karena hal itu merupakan wujud independensi personal dan bagian dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Sebelumnya, seorang remaja asal Surakarta, Jawa Tengah bernama Almas Tsaqibbirru Re A mengajukan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
MK kemudian mengabulkan sebagian permohonan tersebut, tetapi Saldi memilih untuk melayangkan pendapat yang berbeda. Dia mengaku heran dan menganggap hal ini sebagai peristiwa yang tidak biasa karena menilai para hakim konstitusi mengubah pendirian terlalu cepat dalam memutuskan perkara yang dimaksud.
Profil Saldi IsraSaldi Isra lahir di Solok, Sumatera Barat, pada 20 Agustus 1968. Dia lahir dari pasangan Ismail dan Ratina. Saat ini, Saldi masih menjabat sebagai wakil ketua MK periode 2023-2028.
Saldi menempuh pendidikan sekolah dasar hingga menengah di kampung halamannya. Semasa sekolah menengah atas (SMA), ia terbiasa berkutat dengan rumus dan angka karena mengambil jurusan fisika.
Cita-citanya saat itu adalah menembus Institut Teknologi Bandung (ITB) atau masuk Akabri dengan nilai yang cukup tinggi. Namun, ITB bukanlah takdir Saldi.
Setelah dua kali gagal mendaftar di perguruan tinggi incarannya, Saldi memutuskan hijrah ke Jambi untuk bekerja. Seusai memiliki biaya yang cukup untuk berkuliah, ia kembali mencoba peruntungannya. Fakultas Hukum Universitas Andalas menjadi jalan masuk Saldi meraih masa depan.
Pada 1995, Saldi berhasil menamatkan pendidikannya dari Universitas Andalas dengan predikat summa cumlaude dan menjadi lulusan terbaik. Hal itu membuat Saldi diangkat menjadi dosen di Universitas Bung Hatta dan berpindah ke Universitas Andalas.
Dia menuntaskan pendidikan pascasarjananya dengan meraih gelar master of public administration (MBA) di Universitas Malaya, Malaysia pada 2001. Selanjutnya pada 2009, ia menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Gadjah Mada dengan predikat cumlaude. Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai guru besar hukum tata negara Universitas Andalas.
Semasa muda, Saldi dikenal aktif menulis berbagai jurnal dan artikel lingkup nasional maupun internasional yang diterbitkan di berbagai media massa. Hal ini membuat Saldi dikenal luas di kalangan masyarakat.
Saldi juga pernah menjabat sebagai direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas dan aktif dalam gerakan antikorupsi. Sejak 1999, Saldi selalu melaporkan kasus korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat dan berkat keberaniannya ini, ia berhasil mendapat penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award pada 2004, serta Megawati Soekarnoputri Award untuk kategori Pahlawan Mudah Pemberantas Korupsi pada 2012.
Pada 2017, Saldi memutuskan untuk mendaftarkan diri ketika proses seleksi hakim konstitusi MK periode 2017-2022 sedang dibuka. Dia pun berhasil terpilih, lalu resmi dilantik pada 11 April 2017. Pada 15 Maret 2023, Saldi berhasil terpilih sebagai wakil ketua MK periode 2023-2028 melalui rapat pleno. Dia meraih lima suara dari sembilan hakim konstitusi yang memiliki hak memilih.