Inilah Sosok Ketua Umum PP Muhammadiyah dari Masa ke Masa, Nomor Satu Terkenal dengan Gaya Humornya

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.COM, JAKARTA – Muktamar Ke-48 Muhammadiyah akan berlangsung pada 18-20 November mendatang di Solo, Jawa Tengah. Tepatnya di Gedung Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Muktamar kali ini berlangsung secara tatap muka. Penggembira pun boleh datang dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Berarti kurang lebih empat bulan lagi musyawarah tertinggi di Muhammadiyah ini digelar. Nah, menyambut muktamar, alangkah baiknya kita simak kilas balik ketua umum PP Muhammadiyah dari masa ke masa. Diolah dari berbagai sumber, inilah para ketua umum Muhammadiyah sejak 1971.
Berikut nama Ketum PP Muhammadiyah dan periodenya:
1. KH AR Fachruddin (1971-1985)

Read More

Pada Muktamar Ke-38 Muhammadiyah di Ujungpandang (kini Makassar), Sulawesi Selatan, KH AR Fachruddin terpilih sebagai ketua umum. Tokoh yang dikenal dengan gaya humornya ini menggantikan KH Faqih Usman. Hampir seperempat abad Fachruddin berada di pucuk pimpinan Muhammadiyah sebelum digantikan oleh KH Azhar Basyir.

Semasa hidupnya, Pak AR –sapaan akrabnya– memberi contoh hidup welas asih dalam bermuhammadiyah. Sikap hidupnya yang teduh, sejuk, ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan bersahaja adalah pantulan dari mutiara terpendam dalam nuraninya.

Pada Muktamar Ke-42 Muhammadiyah tahun 1990 di Yogyakarta, KH AR Fachruddin tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muham­madiyah walaupun masih banyak warga Muhammadiyah yang mengharapkannya. Ia menginginkan ada regenerasi yang sehat dalam Muhammadiyah.

Penyakit vertigo memaksa Pak AR harus beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun, dalam keadaan demikian, sepertinya ia tidak mau berhenti. Pak AR wafat pada 17 Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta di usia 79 tahun.

2. KH Ahmad Azhar Basyir (1990-1995)

Pada Muktamar Ke-42 Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1995, KH Azhar Basyir terpilih sebagai Ketum Muhammadiyah untuk menggantikan KH AR Fakhruddin. Dalam pandangannya, KH Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasawuf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan zikir.

Melalui gagasan dan pemikirannya, Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak menguasai ilmu agama. Melalui gagasan dan pemikirannya itulah Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak menguasai ilmu agama, kehadirannya dalam khazanah pemikiran Islam seumpama sumur yang tak surut ditimba.

Pada awal Juni 1994, ulama ini masuk rumah sakit karena komplikasi penyakit gula, radang usus, dan jantung. Kondisinya kian memburuk. Hingga akhirnya, ia wafat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Azhar Basyir wafat tepat pada 28 Juni 1994 di usia 66 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta.

3. Prof Dr Amien Rais (1995-1998)

Amien Rais dikenal sebagai cerdik cendekia terkemuka yang telah menempatkannya di posisi Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang lahir dan besar dari rahim Orde Baru. Namun, kondisi politik dan perekonomian yang sudah telanjur membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak populer dan bersuara lantang tentang silang sengkarut praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi serakah kekayaan negeri yang sangat merugikan negara di sejumlah perusahaan besar asing seperti Busang dan Freeport. Seperti risiko yang diduga banyak orang, Amien Rais kemudian terpental dari posisinya di ICMI.

Namun, kehadirannya di Muhammadiyah dan lompatan-lompatan gagasannya justru dianggap sejalan dengan watak gerakan pembaharuan yang kritis dan korektif. Hal itu kemudian menuai dukungan penuh. Maka, tahun 1993, di hadapan peserta Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung di Surabaya Amien Rais kembali menggulirkan isu besar, yakni perlunya suksesi kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada saat itu sebab gurita kepemimpinan Orde Baru masih sangat mencengkeram.

Keberaniannya mengambil risiko yang tak jarang bahkan mengancam jiwanya, diakui suami Kusnariyati Sri Rahayu ini, sebagai sikap amal ma’ruf nahi mungkar yang sesungguhnya amanat dan sekaligus ruh gerakan dakwah Muhammadiyah.

Aktivitas bermuhammadiyah Amien Rais tidak pernah terlepas dari pandangan keprihatinannya terhadap kehidupan politik nasional yang menurutnya perlu direfor­masi untuk menghindari keterpurukan bangsa yang semakin dalam. Setelah tumbangnya Rezim Orde Baru dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden selama 32 tahun, situasi politik berlangsung mencekam dan sangat meresahkan.

Maka, bersama berbagai komponen tokoh bangsa lainnya Amien Rais mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) untuk mencari solusi terbaik pasca reformasi. Tak sedikit yang mengaggap sudah kepalang tanggung jika Amien Rais harus berhenti hanya sampai disitu, atas desakan dari berbagai komponen bangsa yang menginginkan perubahan para­digma politik Indonesia, Amien Rais kemudian mendirikan partai politik yang diberi nama Partai Amanat Nasional (PAN). Sebagai konsekuen­si­ dari langkah politik itu, Amien Rais harus melepaskan posisi puncak di Muhammadiyah.

Kini, setelah tidak lagi di PAN, Amien Rais mendirikan Partai Ummat pada 2021 lalu. Partai Ummat diketuai oleh Ridho Rahmadi, yang tidak lain adalah menantu Amien Rais. Sedangkan Amien Rais sendiri menjadi dewan pembina.

4. Prof Dr KH Ahmad Syafii Maarif (1998-2005)

Ahmad Syafii Maarif adalah figur ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah masyarakat (setidaknya masyarakat Yogyakarta) dia lebih dikenal sebagai seorang agamawan.

Ketika reformasi di Indonesia sedang bergulir, Amien Rais yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus banyak melibatkan diri dalam aktivitas politik di negeri ini untuk menjadi salah satu lokomotif pergerakan dalam menarik gerbong reformasi di Indonesia.

Muhammadiyah harus diselamatkan agar tidak terbawa oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek. Pada saat itulah, ketika Muhammadiyah harus merelakan Amien Rais untuk menjadi pemimpin bangsa, Syafii Maarif menggantikannya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia terpilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Sidang Pleno Diperluas yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia harus melanjutkan tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta.

Pada Muktamar ke-44 tahun 2000, ia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk periode masa jabatan 2000-2005. Setelah Muktamar ke-45 di Malang, jabatan Ketua PP Muhammadiyah berganti sebutan menjadi Ketua Umum.

Pada 27 Mei 2022 lalu, Syafii Maarif wafat. Wafatnya sang guru bangsa ini menimbulkan duka yang mendalam dari seluruh bangsa Indonesia. Banyak tokoh yang menyampaikan belasungkawa. Bahkan Presiden Joko Widodo langsung menuju tempat almarhum di Yogyakarta untuk ikut menyalati jenazah Buya Syafii Maarif. Sejumlah media nasional seperti Kompas, Jawa Pos, dan Republika juga membuat headline besar saat wafatnya guru bangsa demi menghargai jasanya.

5. Prof Dr KH Din Syamsuddin (2005-2015)
Prof Dr Muhammad Sirajuddin Syamsuddin MA atau yang lebih dikenal dengan nama Din Syamsuddin adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan periode 2010-2015. Kiprah Din Syamsuddin di Persyarikatan Muhammadiyah dimulai sejak ia tampil menjadi Ketua Umum Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, dan Wakil Ketua Muhammadiyah. Alur kepemimpinannya terbilang cukup unik karena berangkat dari bekal pendidikan dasar dan menengah di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama dan Madrasah Tsanawiyah Nadlatul Ukana Sumbawa Besar.

Semangat Din Syamsuddin dalam mendalami khazanah ilmu dan cakrawala Islam terinspirasi dari mertuanya sendiri, yaitu Darnelis binti Thaher. Dalam keluarganya, Din Syamsuddin dikenal sebagai sosok ayah dan suami pendidik yang santun dan kaya teladan. Pada saat terakhir pelepasan jenazah sang mertua, Din mengungkapkan bahwa Ibu mertuanya selalu mendukung gerak hidupnya, bahkan ketika ia hendak memulai studinya di Amerika hingga ia menjabat sebagai Ketua umum PP Muhammadiyah.

Din Syamsuddin dikenal sebagai sosok pemimpin umat Islam bukan karena jabatannya sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, melainkan karena kemampuan berdialog yang ia miliki dengan seluruh umat beragama, baik dengan sesama umat Islam maupun umat beragama lainnya.

Ketekunannya dalam menekuni Islam berhasil menghantarkan Din Syamsuddin menempuh pascasarjana Interdepartmental Programme Islamic Studies di University of California Los Angeles Amerika Serikat dan meraih gelar MA, kemudian menempuh pendidikan doktoral nya di Universitas yang sama pada tahun 1996.

Sebagai Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sering sekali mendapatkan undangan untuk menghadiri berbagai macam konferensi tingkat dunia, salah satunya adalah ketika ia diundang ke Vatican, Roma untuk memberikan ceramah umum mengenai Terorisme dalam konteks politik dan ideologi. Din memandang bahwa terorisme lebih relevan apabila dikaitkan dengan isu politik jika dibandingkan dengan isu ideologi.

Pada bulan Mei 2018, namanya masuk ke dalam daftar 200 orang mubalig yang direkomendasikan Kemenag. Din Syamsuddin juga baru saja mendirikan Partai Pelita pada 2022 ini.

6. Prof Dr Haedar Nashir MSi (2015-sekarang)

Pria kelahiran Bandung, 28 Februari 1958, ini bergabung dengan Muhammadiyah sejak tahun 1983 dengan nomor anggota 545549. Pada tahun itu, ia dipercaya sebagai Ketua I Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Lalu, pada tahun 1985-1990, kariernya meningkat. Haedar menduduki posisi Deputi Kader PP Pemuda Muhammadiyah hingga menjadi Ketua Badan Pendidikan Kader (BPK) dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah.

Selain aktif dalam organisasi Muhammadiyah, Haedar Nashid pun bekerja sebagai dosen Program Doktor Politik Islam pada program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. Alumnus S3 dari Universitas Gadjah Mada dengan status cumlaude ini pun aktif menulis berbagai karya tulis ilmiah baik berupa buku maupun artikel yang dimuat di berbagai media massa. Bahkan, ia pun menjabat sebagai Pemimpin Redaksi majalah Sinar Muhammadiyah.

Esai-esainya dapat dinikmati di rubrik “Bingkai” majalah Sinar Muhammadiyah. Selain itu, Haedar juga menulis buku bertajuk “Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharuan” yang dinilai sangat referensial. Haedar Nashir memang dikenal sebagai penulis produktif. Buku-bukunya telah banyak yang sudah terbit. Antara lain “Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologis, “Islam Syariat”, hingga “Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan”.

Selain itu, suami dari Noordjannah Djohantini yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PP Aisyiyah 2015-2020 ini juga telah menjadi penulis tetap di rubrik “Refleksi” pada Harian Republika. Ia juga kerap menulis artikel di media lain dan mengisi kata pengantar untuk beberapa buku.

Mengenai pendidikan agama, sebetulnya sudah sejak kecil ia mendapatkanya. Haedar pernah bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Ciparay, Bandung. Meski pendidikan selanjutnya ia lalui di sekolah umum seperti SMP Muhammadiyah III dan SMA Negeri 10, Bandung. Namun, ia pernah juga menjadi santri di Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya Jawa Barat.

Lulus sekolah menengah, ia melanjutkan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” di Yogyakarta dengan memeperoleh lulusan terbaik. Begitu juga dengan program pasca sarjananya. Ia berhasil lulus program S2 dan S3 di Universitas Gadjah Mada dengan status cum laude.

Seiring intelektualitas dan keilmuannya yang makin mumpuni, karier Haedar di Muhammadiyah pun makin meroket. Dari organisasi Pemuda Muhammadiyah, ia diberi amanah menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah hingga salah satu ketua PP Muhammadiyah.

Puncaknya, pada Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Jumat pagi, 7 Agustus 2015, Haedar Nashir memperoleh suara terbanyak. Ia berhasil mengumpulkan 1.987 suara, kemudian disusul Yunahar Ilyas sebanyak 1.928, Abdul Mu’ti sebanyak 1.802 suara, Dahlan Rais sebanyak 1.827 suara, dan Busyro Muqoddas sebanyak 1.881 suara. Ia pun resmi menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015-2020.

Patut ditunggu pada muktamar di Solo mendatang, apakah Prof Haedar Nashir kembali terpilih ataukah ada tokoh lain yang menjadi ketua umum PP Muhammadiyah periode mendatang.


Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Minangkabaunews.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Related posts