Oleh: Buya Gusrizal Gazahar
Punahnya Harimau bukan semata karena tak berketurunan tapi karena belantara telah berubah fungsi. Harimau-harimau Minangkabau tak pernah kehilangan belang.
Kalau cermin sejarah pantulan diri memang jernih, lihatlah Hatta di ujung kehidupan, Syahrir di akhir perjalanan, Tan Malaka di batas pelangkahan bahkan Hamka dalam gelombang perjuangan.
Selama belantara menjadi habitat yang layak untuk dihuni, Harimau tak akan kehilangan belangnya dan tak akan kehabisan aumannya. Ia akan hadapi tantangan dan rintangan kehidupannya.
Orang yang menyadari hal ini, sepantasnya menjadikan “kehilangan Harimau” sebagai penyadar diri bahwa “hutan belantara” telah rusak.
Polusi kehidupan telah membuat sesak nafas “Inyiak Balang”. Tak perlu heran bila ia berdiam diri sejenak mencari sisa belantara sementara menunggu saat yang tepat untuk keluar.
Bila ada yang berkata, mengapa ia tak menghadirkan diri di tengah “belantara beton” itu?
Jawabannya;
Jika ia memaksakan dirinya, hilanglah wibawa belangnya. Ia akan menjadi tontonan seperti Harimau sirkus atau Harimau kebun binatang. (*)
/* Penulis adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat.