Oleh: Buya Dr. H Gusrizal Gazahar, LC, MAg Datuak Palimo Basa
Di balik jinaknya seekor unta yang ditunggangi jemaah di Thaif, dan buasnya singa yang menerkam di savana, tersimpan sebuah rahasia agung tentang siapa yang sebenarnya memegang kendali. Sebuah pelajaran tentang ketundukan, bukan hanya bagi binatang, tapi terutama bagi manusia.
THAIF – Udara panas yang kering menyengat kulit. Di sebuah lokasi di Thaif, sekelompok jemaah umroh asal Sumatra Barat berkerumun. Sorot mata mereka takjub tertuju pada satu makhluk anggun dengan bulu yang tebal dan mata yang jernih: seekor unta. Dengan patuh, ia membiarkan dirinya diraba, dipeluk, dan ditunggangi oleh para tamu Allah itu. Ia jinak, bahkan terkesan lemah lembut.
Bayangkan adegan yang kontras: di belahan bumi lain, di tengah hutan atau savana, seekor singa mengaum, menerkam mangsanya dengan gerakan agresif dan buas yang mematikan. Atau seekor harimau yang mengendap dengan sikap liar yang memancar dari sorot matanya.
Dua sifat yang bertolak belakang: jinak dan liar. Semua binatang telah dilengkapi dengan kemampuan untuk mempertahankan diri, bahkan untuk menyerang. Namun, mengapa tidak semua dari mereka menggunakan ‘senjata’ itu untuk bertindak agresif? Mengapa ada yang seperti unta di Thaif itu, yang dengan sabar menjadi tunggangan, sementara yang lain harus dijauhi karena kebuasan nalurinya?
Pertanyaan ini menggelayuti pikiran saat menyaksikan langsung interaksi hangat antara jemaah dan unta tersebut. Siapa, sebenarnya, yang membuat mereka bertabiat seperti itu? Siapa yang menetapkan garis takdir antara yang jinak dan yang buas?
Jawabannya datang bagai embun penyejuk di tengah gersangnya pertanyaan. Ia bersumber dari firman yang Maha Tinggi:
{وَذَلَّلْنَاهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُونَ}
“Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan.” (QS. Yasin: 72)
Ayat ini bagai petir di siang bolong. Ia bukan sekadar informasi, melainkan penegasan tentang sebuah Kekuasaan Mutlak. Kamilah, Allah SWT, yang menundukkan. Kamilah yang menjinakkan. Kamilah yang, dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, mengatur naluri setiap makhluk.
Unta yang jinak itu bukanlah jinak karena latihan manusia semata. Singa yang buas itu bukanlah buas karena kebetulan. Ada sebuah “Sistem Pengendali” yang bekerja di balik layar kehidupan mereka. Sistem itu dioperasikan oleh Sang Pencipta, yang dengan kehendak-Nya, menundukkan sebagian binatang untuk kemaslahatan manusia, dan membiarkan sebagian yang lain dengan sifat liarnya, mungkin sebagai bagian dari keseimbangan ekosistem, atau sebagai tanda kebesaran-Nya yang lain.
Kepenuhan Makna sebagai ‘Tamu’
Di sinilah letak muhasabahnya. Jika binatang-binatang yang perkasapun—dengan cakar, taring, dan kekuatannya—bisa ditundukkan dan dijinakkan oleh suatu Kekuatan yang Tak Terlihat, lalu di manakah posisi manusia?
Aktivitas berinteraksi dengan unta di Thaif ini menjadi metafora yang sangat dalam. Kita adalah tamu di bumi ini. Tamu di tanah suci. Dan yang terpenting, kita adalah tamu dalam kehidupan ini.
Seorang tamu yang baik adalah yang tahu diri. Ia tidak berlaku semena-mena di rumah orang. Ia menghormati tuan rumah. Lantas, bagaimana kita sebagai tamu Allah? Tatkala menjadi tamu-Nya di Baitullah, semua ‘simbol gagah’ duniawi harus kita lepas. Jabatan, gelar, harta, kekuasaan—semua yang kita banggakan di ‘dunia’—ternyata tak ada artinya di hadapan-Nya. Kita datang dengan hanya dibalut dua helai kain ihram, menyamai setiap manusia lainnya di hadapan Sang Maha Raja.
Binatang buas saja bisa ditundukkan oleh-Nya. Apakah kita, dengan segala kesombongan dan simbol keduniawian kita, mengira bahwa kita tidak bisa ditundukkan oleh-Nya? Bahwa kita bebas dari kuasa-Nya?
Pelajaran dari seekor unta yang ditundukkan itu adalah cermin bagi jiwa kita. Ketaatan dan ketundukan sang unta adalah refleksi dari seharusnya kondisi hati seorang hamba. Dan kebuasan singa adalah pengingat bahwa tanpa tunduk kepada Allah, kekuatan dan ‘kebuasaan’ nafsu duniawi kita bisa menghancurkan diri sendiri.
Oleh karena itu, mari jadi tamu yang tahu diri! Mari muhasabah dengan memandang ‘tanggalnya’ segala simbol yang selama ini kita pandang gagah. Lihatlah bagaimana sifat jinak dan liarnya binatang telah diatur oleh-Nya. Itu adalah peringatan lunak sekaligus teguran halus bagi kita semua.
Sebelum kita ditundukkan oleh keadaan, oleh penyakit, oleh usia, atau oleh takdir yang tidak kita sangka, sudah selayaknya kita lebih dulu menundukkan diri kepada Yang Maha Menundukkan segala sesuatu. Hanya dengan ketundukan itulah, kita menjadi tamu yang beradab di rumah-Nya yang luas ini.






