MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI — Majelis Kajian Fikih Al-Qulub kembali mengadakan pertemuan ilmiah yang membahas aspek penting dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, yaitu azam (tekad). Salah satu pertanyaan yang muncul dari peserta adalah apakah seseorang yang ingin berubah menjadi lebih baik harus melalui tahapan-tahapan tertentu dalam perjalanan menuju Allah, ataukah bisa tiba-tiba sadar dan langsung mencapai kedekatan dengan-Nya.
Proses Perubahan Menurut Sunnatullah
Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar, menjelaskan bahwa perubahan mendadak memang mungkin terjadi jika Allah menghendaki. Namun, dalam sunnatullah—hukum dan ketentuan yang Allah tetapkan di dunia ini—segala sesuatu umumnya memerlukan proses. Sebagaimana seseorang harus makan untuk merasa kenyang, demikian pula dalam perjalanan spiritual menuju Allah, diperlukan usaha dan langkah-langkah konkret.
Fenomena Perubahan Instan: Karomah, Istidraj, dan Sihir
Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa juga menyebutkan bahwa ada beberapa kejadian luar biasa yang bisa terjadi di luar hukum umum. Jika Allah memberikan perubahan instan kepada seorang hamba dalam bentuk kebaikan, hal itu disebut karomah, yang diberikan kepada para wali-Nya. Sebaliknya, bagi orang-orang durhaka, Allah bisa memberikan kejadian luar biasa yang disebut istidraj, yang justru menjauhkan mereka dari petunjuk-Nya. Selain itu, ada juga fenomena sihir, yang menipu manusia dan sering kali digunakan oleh orang-orang yang tidak bertakwa.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, manusia diharuskan mengikuti jalan yang telah disyariatkan. Syariat sendiri, secara bahasa, berarti jalan yang lurus dan lapang menuju sumber air, yang dalam konteks agama adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan spiritual.
Tahapan dalam Perjalanan Spiritual
Dalam sebuah hadis yang masyhur, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa seseorang baru bisa mencapai mahabbah (cinta Allah) setelah melalui tahapan-tahapan ibadah. Rasulullah bersabda:
“Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa ada proses yang harus ditempuh untuk meraih cinta Allah, dimulai dengan menunaikan kewajiban syariat, kemudian dilanjutkan dengan amalan-amalan sunnah.
Makna Hijrah: Dari Kejahatan Menuju Kebaikan
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Munziri dan Imam Ibnu Hibban, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa seorang mukmin adalah seseorang yang membuat orang lain merasa aman dari kejahatan lisan dan tangannya. Sedangkan seorang muhajir sejati adalah orang yang meninggalkan kejahatan.
Konsep hijrah tidak hanya terbatas pada perpindahan fisik, seperti hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah, tetapi juga mencakup perpindahan dari keburukan menuju kebaikan. Dalam konteks ini, hijrah menjadi perjalanan batin yang memerlukan kesadaran, tekad, dan usaha untuk meninggalkan maksiat dan mendekat kepada Allah.
Pentingnya Kesadaran dan Tekad yang Kuat
Banyak orang yang tersadar akan kesalahan masa lalunya, tetapi tidak sedikit yang akhirnya kembali lalai karena tidak tahu arah yang harus ditempuh. Kesadaran saja tidak cukup; seseorang harus memiliki bashirah (pandangan hati yang tajam) untuk memahami kondisi dirinya dan menentukan langkah selanjutnya.
Para ulama menyatakan bahwa banyak orang yang mengetahui hukum halal dan haram, tetapi tetap melakukan dosa karena lemahnya azam (tekad) dalam diri mereka. Oleh karena itu, tekad yang kuat menjadi kunci utama dalam perjalanan spiritual seseorang.
Melalui kajian ini, Majelis Kajian Fikih Al-Qulub menegaskan bahwa perjalanan menuju Allah adalah sebuah proses bertahap yang membutuhkan niat, usaha, dan istiqamah (konsistensi). Seorang Muslim harus terus berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan amal saleh, baik yang wajib maupun yang sunnah, serta memperkuat tekadnya dalam meninggalkan segala bentuk kemaksiatan.






