Kajian Fiqh Ibadah bersama Buya Dr. Gusrizal: Menghayati Kekhusyukan Ibadah: Integrasi Ilmu dan Amal dalam Syariat

MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI — Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, menekankan pentingnya integrasi sikap lahir dan batin dalam menjalankan ibadah. Dalam kajian Fiqh Ibadah yang digelar baru-baru ini, Buya Gusrizal menyatakan bahwa kekhusyukan bukan sekadar ritual formal, melainkan perpaduan antara kepatuhan terhadap syariat dan ketulusan hati.

Menurutnya, seorang yang khusyuk akan menjalankan ibadah dengan konsisten sesuai tuntunan agama, tanpa perlu menonjolkan kesan dramatis atau berlebihan. Ia mengilustrasikan sikap tegas Umar bin Khattab yang tercermin dari cara berjalan tegak dan tutur kata jelas, sebagai refleksi ibadah yang menyatu dengan kepribadian. “Kekhusyukan tidak identik dengan gerakan lambat atau suara lirih. Esensinya terletak pada kesungguhan memahami dan mengamalkan syariat,” ujarnya.

Buya Dr. Gusrizal juga mengkritik fenomena sebagian masyarakat yang lebih mengutamakan pencitraan daripada substansi ibadah. Ia memperingatkan agar umat tidak terjebak pada simbol-simbol lahiriah tanpa disertai pemahaman mendalam. “Ilmu dan amal ibarat dua sisi mata uang. Tanpa ilmu, ibadah bisa kehilangan arah. Tanpa amal, ilmu hanya menjadi wacana,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa praktik shalat yang khusyuk memerlukan keseimbangan antara pengetahuan tentang tata cara ibadah dan penerapannya secara disiplin. Misalnya, Rasulullah SAW pernah mempersingkat durasi shalat saat menjadi imam ketika mendengar tangisan bayi, menunjukkan bahwa kekhusyukan tidak mengabaikan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. “Ini contoh nyata bahwa ibadah yang hakiki tidak menafikan realitas kehidupan,” tambahnya.

Melalui kajian ini, Buya Dr. Gusrizal mengajak masyarakat untuk merefleksikan kembali makna ibadah yang sejati. Menurutnya, kunci kekhusyukan terletak pada kemampuan meresapi nilai-nilai spiritual sembari tetap adaptif dengan dinamika sosial. “Ibadah bukan kompetisi pencitraan, melainkan media mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan kesadaran penuh,” pungkasnya.

Kajian ini ditutup dengan penekanan pada urgensi pendidikan agama yang holistik, agar umat tidak hanya paham tata cara ibadah, tetapi juga mampu menghayati maknanya dalam kehidupan sehari-hari.

Related posts