MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI — Dalam ceramah yang mengupas tuntas persoalan waris, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, Ketua MUI Sumatra Barat sekaligus ahli faraid, menegaskan pentingnya penerapan ilmu waris Islam (faraid) sebagai sistem yang menjamin keadilan. Menurutnya, faraid tidak hanya mengatur pembagian harta berdasarkan proporsi tertentu, tetapi juga menekankan ketepatan perhitungan matematis untuk menghindari ketimpangan.
“Faraid adalah panduan syariat yang memastikan hak setiap pihak terpenuhi secara proporsional, baik dalam menentukan ahli waris maupun besaran bagiannya,” ujarnya.
Sebelum pembagian warisan, ia mengingatkan tiga kewajiban utama yang harus dipenuhi: biaya pemakaman jenazah (tajhīzul mayyit), pelunasan utang—baik kepada manusia maupun Allah (seperti zakat atau nazar)—dan eksekusi wasiat jika ada. Hal ini menjadi prasyarat agar pembagian warisan sah secara syariat.
Buya Dr. Gusrizal menyoroti polemik harta pusaka tinggi di Minangkabau, yang kerap memicu perdebatan. Menurut adat setempat, harta ini bersifat komunal dan diwariskan secara matrilineal (garis keturunan ibu), sehingga tidak bisa diklaim sebagai milik pribadi. “Pusaka tinggi adalah aset kaum, bukan individu. Karena itu, ia tidak termasuk dalam objek warisan faraid,” tegasnya.
Buyaa memaparkan dua perspektif ulama terkait status pusaka tinggi:
1. Mazhab Pertama: Mengibaratkan harta pusaka tinggi seperti wakaf. Pemilik awalnya dianggap melepas kepemilikan pribadi, sehingga harta tersebut menjadi milik kolektif kaum untuk dimanfaatkan secara turun-temurun.
2. Mazhab Kedua: Menyatakan kepemilikan beralih ke kaum secara utuh, sehingga tidak ada ruang bagi pembagian ke individu.
“Syariat Islam tidak menghapus sistem yang sudah ada, tetapi menata ulang berdasarkan prinsip kepemilikan dan kemaslahatan,” jelas Buya. Untuk memperkuat argumen, ia memberi analogi harta wakaf organisasi seperti Muhammadiyah: meski dikelola seorang ketua, anak ketua tidak bisa mewarisinya karena statusnya milik lembaga, bukan pribadi.
Buya Dr. Gusrizal menekankan bahwa adat Minangkabau dan faraid dapat berjalan seiring jika masyarakat memahami klasifikasi harta. Harta pribadi (*pusaka rendah*) seperti hasil usaha wajib dibagi menurut faraid, sementara pusaka tinggi tetap diatur adat. “Konflik muncul ketika kedua kategori ini dicampuradukkan,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan tiga pilar warisan dalam Islam:
1. Al-Muwarrit (pewaris): Harus jelas status kematiannya, termasuk melalui keputusan pengadilan jika seseorang dinyatakan hilang.
2. Al-Waris (ahli waris): Harus memenuhi syarat hubungan darah atau pernikahan.
3. At-Tarikah (harta warisan): Hanya berlaku untuk aset pribadi, bukan harta komunal.
Ceramah ini menutup dengan seruan untuk tidak tergesa-gesa mengklaim warisan tanpa memverifikasi status hukum harta. “Faraid mengajarkan keadilan, bukan sekadar pembagian angka. Di Minangkabau, kearifan adat dan syariat harus bersinergi, bukan bersaing,” pungkas Buya Gusrizal. Dengan pemahaman ini, diharapkan polemik warisan dapat diatasi tanpa mengikis nilai budaya maupun agama.






