MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Dr. Gusrizal Gazahar Dt Palimo Basa, dalam kajian tafsirnya akun Youtube Surau Buya Gusrizal di sebuah masjid menjelaskan bagaimana Rasulullah SAW menegakkan keadilan dalam kehidupan berumah tangga. Buya menguraikan bahwa Rasulullah adalah sosok teladan dalam membagi waktu, perhatian, dan tanggung jawab kepada istri-istrinya. Hal ini sesuai dengan riwayat dari Imam Abu Daud dan Imam Tirmidzi.
Rasulullah SAW mengucapkan doa yang menjadi prinsip beliau dalam pembagian tanggung jawab:
“Allahumma haza qasmi bima amlik fala tuakhidzni bima la amlik”
(Ya Allah, ini adalah pembagianku berdasarkan apa yang aku kuasai. Maka janganlah Engkau hukum aku atas apa yang tidak aku kuasai).
Dr. Gusrizal menegaskan, doa ini menunjukkan keadilan Rasulullah dalam hal yang dapat beliau kendalikan, seperti nafkah dan pembagian waktu. Namun, Rasulullah juga menyadari bahwa kecenderungan hati tidak sepenuhnya berada dalam kuasa manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nisa ayat 129:
“Dan kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”
Keadilan dan Tanazul Hak Istri
Keadilan yang dimaksud dalam ayat tersebut merujuk pada kecenderungan hati, bukan pada pembagian nafkah atau giliran bermalam. Sebagai contoh, Ummul Mukminin Saudah binti Zam’ah dengan ikhlas menyerahkan giliran malamnya kepada Aisyah RA. Hal ini dilakukan tanpa paksaan, dan karenanya, suami tidak dianggap berlaku tidak adil.
Fenomena serupa juga ditemui pada masa kini. Beberapa wanita rela menikah sebagai istri kedua atau ketiga tanpa menuntut nafkah. Selama kerelaan itu didasarkan pada keinginan pribadi tanpa tekanan, hal ini diperbolehkan dalam syariat.
Nafkah: Kewajiban Mutlak Suami
Dr. Gusrizal menekankan bahwa suami tetap wajib memberikan nafkah kepada istri, terlepas dari kondisi ekonomi istri. Bahkan jika istri memiliki kekayaan pribadi, kewajiban nafkah tidak gugur. Namun, jika istri dengan ikhlas melepaskan haknya, hal ini dianggap sah selama dilakukan tanpa paksaan.
Poligami dan Keadilan dalam Islam
Poligami diperbolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu, seperti kemampuan berlaku adil dalam nafkah dan pembagian waktu. Jika tidak mampu memenuhi syarat tersebut, maka dianjurkan untuk mencukupkan diri dengan satu istri. Ini sesuai dengan Surah An-Nisa ayat 3:
“Jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka cukup satu istri.”
Namun, poligami bukanlah kewajiban, melainkan solusi alternatif yang bertujuan mendatangkan maslahat. Pelaku poligami harus mempertimbangkan kemampuannya agar tidak terjebak dalam kezaliman.
Peringatan terhadap Ketidakadilan
Ketidakadilan dalam berumah tangga, terutama kepada istri, adalah dosa besar. Rasulullah SAW memperingatkan bahwa mereka yang tidak adil akan dipermalukan di hadapan makhluk lain pada hari kiamat.
Dr. Gusrizal menutup kajiannya dengan menekankan pentingnya keadilan dalam berumah tangga, baik dalam monogami maupun poligami. Ia mengingatkan bahwa poligami adalah kebolehan dengan syarat ketat, bukan kewajiban. Bagi mereka yang tidak mampu memenuhi syarat keadilan, dianjurkan untuk tetap berkomitmen pada satu istri demi keharmonisan keluarga dan terhindar dari dosa.