MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL — Tahun ini, Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan. Bencana alam yang melanda berbagai wilayah tanah air bukan sekadar deretan berita di televisi atau statistik di koran pagi. Di balik setiap angka kerugian, terdapat cerita keluarga yang kehilangan rumah, petani yang melihat lahan pertaniannya hancur, anak-anak yang tak bisa bersekolah karena gedung roboh, dan ribuan jiwa yang harus mengungsi dengan membawa harapan tipis di tengah ketidakpastian.
Advokat Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat, menyampaikan analisis mendalam mengenai dampak ekonomi bencana alam yang terjadi. Melalui hasil studi yang dilakukan oleh CELIOS, terungkap fakta mengejutkan yang seharusnya menjadi alarm keras bagi pengambil kebijakan di negeri ini.
Ketika berbicara tentang kerugian materiil, angka-angka yang muncul bukan sekadar deretan nol di belakang koma. Sumatera Barat mencatat kerugian mencapai hampir Rp 2,01 triliun, sementara Aceh mengalami pukulan ekonomi sebesar Rp 2,20 triliun. Angka ini mencerminkan realitas yang jauh lebih kompleks dari sekadar hitungan matematis.
Bayangkan ribuan rumah yang rusak, tempat di mana keluarga-keluarga membangun kenangan selama puluhan tahun, kini hanya tersisa puing-puing. Infrastruktur yang dibangun dengan susah payah menggunakan anggaran negara, kini lumpuh dan memerlukan dana rekonstruksi yang tidak sedikit. Fasilitas pendidikan yang seharusnya menjadi tempat anak-anak menimba ilmu, kini tutup karena kerusakan struktural. Begitu pula dengan fasilitas kesehatan yang justru sangat dibutuhkan di masa-masa seperti ini, malah ikut menjadi korban.
Jembatan-jembatan yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain putus, memutus pula rantai distribusi ekonomi masyarakat. Petani tidak bisa menjual hasil panen, pedagang tidak bisa mendatangkan barang dagangan, dan aktivitas ekonomi sehari-hari menjadi lumpuh total. Lebih menyakitkan lagi, ada jiwa-jiwa yang melayang, orang-orang yang hilang tanpa jejak, dan ribuan lainnya yang terluka baik secara fisik maupun psikologis.
Lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat rusak parah, peternakan musnah, dan mata pencaharian alternatif pun sulit ditemukan ketika akses menuju tempat kerja terputus oleh longsor dan banjir. Ini bukan hanya soal uang, tetapi tentang kehidupan manusia yang terganggu secara fundamental.
Hasil studi yang dilakukan oleh CELIOS membuka mata kita semua terhadap satu fakta yang sulit dibantah: dampak kerugian ekonomi akibat bencana alam secara nasional telah mencapai Rp 68,67 triliun. Angka ini bukan sembarang angka. Untuk memberikan perspektif yang lebih jelas, bandingkan dengan penerimaan negara dari Penjualan Hasil Tambang (PHT) yang hanya mencapai Rp 16,6 triliun per Oktober 2025.
Artinya, kerugian akibat bencana alam lebih dari empat kali lipat dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh negara dari sektor pertambangan. Ini adalah temuan yang sangat signifikan dan seharusnya menjadi bahan evaluasi serius bagi pemerintah dalam menentukan prioritas pembangunan nasional.
Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah: apakah kita masih bisa terus mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek melalui eksploitasi sumber daya alam, ketika di sisi lain kita harus menanggung kerugian yang jauh lebih besar akibat degradasi lingkungan yang memicu bencana alam?
Berdasarkan temuan ini, CELIOS merekomendasikan hal yang sangat krusial: perlunya moratorium izin tambang dan perkebunan kelapa sawit. Rekomendasi ini bukan tanpa alasan. Bukti-bukti ilmiah dan empiris telah menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan dan pembukaan lahan dalam skala masif untuk perkebunan kelapa sawit berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem, penggundulan hutan, dan perubahan struktur tanah yang pada akhirnya meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan longsor.
Besarnya dampak bencana alam tahun ini telah menggerakkan berbagai elemen masyarakat untuk bersuara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama dengan beberapa tokoh masyarakat, termasuk Irman Gusman, telah mendesak pemerintah untuk segera menetapkan status bencana nasional. Desakan ini bukan sekadar formalitas administratif, tetapi merupakan langkah strategis yang memiliki implikasi luas terhadap penanganan bencana.
Penetapan status bencana nasional akan memungkinkan mobilisasi sumber daya yang lebih cepat dan efektif. Anggaran dapat dialokasikan dengan lebih fleksibel, bantuan internasional dapat diminta dengan dasar yang lebih kuat, dan koordinasi antarlembaga dapat dilakukan dengan otoritas yang lebih jelas. Lebih dari itu, status bencana nasional akan menjadi pernyataan politik yang tegas dari pemerintah bahwa situasi ini memerlukan perhatian dan tindakan luar biasa.
Dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat sangat nyata dan mendesak. Mata pencaharian terganggu bukan hanya untuk hitungan hari atau minggu, tetapi bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Akses jalan yang longsor dan jembatan yang putus tidak hanya mengisolasi masyarakat secara fisik, tetapi juga secara ekonomi. Pedagang tidak bisa berjualan, pekerja tidak bisa pergi ke tempat kerja, anak-anak tidak bisa sekolah, dan pasien tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
Situasi yang kita hadapi saat ini sebenarnya adalah cerminan dari pilihan-pilihan pembangunan yang telah kita ambil selama puluhan tahun. Model pembangunan yang terlalu fokus pada eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan telah membawa kita pada titik di mana kerugian akibat bencana alam melampaui keuntungan ekonomi yang diperoleh.
Studi CELIOS memberikan data yang sangat berharga untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pembangunan nasional. Ketika kerugian akibat bencana mencapai Rp 68,67 triliun, jauh melampaui penerimaan dari sektor tambang yang hanya Rp 16,6 triliun, maka sudah saatnya kita bertanya: apakah model pembangunan kita masih relevan dan berkelanjutan?
Moratorium izin tambang dan kelapa sawit yang direkomendasikan oleh CELIOS bukanlah tentang menghentikan pembangunan ekonomi, tetapi tentang membangun dengan cara yang lebih bijaksana dan berkelanjutan. Ini tentang melindungi aset-aset alam yang justru berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap bencana alam. Hutan yang masih terjaga akan menyerap air hujan dan mencegah banjir, tanah yang tidak tererosi akan lebih stabil dan mengurangi risiko longsor, dan ekosistem yang sehat akan memberikan berbagai layanan lingkungan yang nilainya jauh melampaui keuntungan jangka pendek dari eksploitasi.
Advokat Ki Jal Atri Tanjung menutup analisisnya dengan harapan dan doa agar pemerintah dapat memperhatikan dan mempertimbangkan desakan untuk menetapkan status bencana nasional. Ini bukan sekadar permintaan dari segelintir orang, tetapi merupakan aspirasi dari berbagai organisasi masyarakat dan tokoh-tokoh yang memahami urgensi situasi.
Masyarakat yang terdampak bencana memerlukan bantuan segera. Mereka memerlukan kepastian bahwa negara hadir dan peduli terhadap penderitaan mereka. Status bencana nasional bukan hanya akan mempercepat bantuan darurat, tetapi juga akan menjadi fondasi bagi program rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang.
Lebih dari itu, penetapan status bencana nasional akan menjadi momen refleksi bagi kita semua. Ini adalah kesempatan untuk mengevaluasi ulang prioritas pembangunan, untuk mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakan yang mungkin telah berkontribusi terhadap meningkatnya risiko bencana, dan untuk merancang masa depan yang lebih tangguh terhadap ancaman bencana alam.
Studi CELIOS telah menyajikan data yang jelas dan mengejutkan. Kerugian ekonomi akibat bencana alam sebesar Rp 68,67 triliun adalah angka yang terlalu besar untuk diabaikan. Ketika angka ini dibandingkan dengan penerimaan negara dari sektor tambang yang hanya Rp 16,6 triliun, maka pertanyaan tentang prioritas pembangunan menjadi semakin mendesak untuk dijawab.
Desakan untuk menetapkan status bencana nasional dan melakukan moratorium izin tambang serta kelapa sawit adalah langkah-langkah konkret yang diusulkan berdasarkan analisis data dan realitas di lapangan. Pemerintah memiliki data, memiliki rekomendasi dari para ahli, dan memiliki desakan dari masyarakat. Kini yang diperlukan adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang mungkin tidak populer di mata para investor dan pengusaha, tetapi sangat diperlukan untuk masa depan bangsa yang lebih berkelanjutan.
Bencana alam memang tidak bisa dihindari sepenuhnya, tetapi dampaknya bisa diminimalkan jika kita memiliki kebijakan yang tepat, infrastruktur yang tangguh, dan ekosistem yang sehat. Pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan terus mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek dengan risiko kerugian yang semakin besar, atau kita akan memilih jalan pembangunan yang lebih berkelanjutan meskipun mungkin lebih lambat namun lebih aman dan lebih adil bagi generasi mendatang.
Data telah berbicara. Masyarakat telah bersuara. Kini saatnya bagi pengambil kebijakan untuk mendengarkan dan bertindak. Semoga pemerintah dapat mempertimbangkan dengan serius rekomendasi-rekomendasi yang telah disampaikan, demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Artikel ini dtulis berdasarkan analisis Advokat Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat






